Entah apa yang menimpanya. Cinta tak tergenggam serupa udara. Napas sesak, seakan berjelaga. Nasib meninggalkan dirinya dalam kesunyian yang meraja. Namanya Anggun, rindu menjadi kata yang asing di telinganya. Bukan, bukan karena lelaki tak menginginkannya. Semua itu, hanya karena ia lupa, memakai celana.
"Coyooot... Mbak, eh mas coyooottt... Celana aku belum ada yang kering yaa..." Anggun panik. Diambilnya handuk lalu dipakai sekenanya. Terlihat wajahnya yang merah padam. Entah kenapa ia bisa sebodoh itu, memangnya siapa Japut? Bisa-bisanya lelaki itu mengganggu pikirannya.
Anggun mengelilingi seluruh bagian rumah, tapi yang dicari tak tampak batang hidungnya. Saat melintas di depan kamar mandi ia berpapasan dengan Bella.
"Mas coyot udah pergi ke mall kak. Emangnya ada apa? Udahlah kak, mas coyot kan mau diganti kelaminnya sama mama. Di rumah ini yang boleh jadi laki-laki cuma papa. Kakak cari yang lain aja."
"Terus, kalau kakak udah dapet. Diganti juga kelaminnya sama mama? Emangnya kayak mainan lego yang bisa dilepas terus dipasang lagi gitu aja? Keluarga macam apa sih ini." Anggun bersungut-sungut.
"Keluarga Bencana kak." Ucap Bella tanpa ekspresi.
"Eh, kamu mau kemana?"
"Kamar, ngelanjutin nonton film favorit aku."
"Bagi duit."
Bella merogoh kantung celananya. Dikeluarkannya selembar cek dengan angka tiga puluh juta. Mata Anggun melotot, mulutnya ternganga. Tangannya bergetar hebat saat menerima cek yang diberikan Bella.
"Biasa aja kak. Makanya jangan keseringan galau. Perlu aku ajarin cara godain papa yang baik dan benar?"
"Nggak, makasih!"
Anggun berjalan pergi meninggalkan Bella.
"Udah dikasih duit tiga puluh juta, keluar rumah masih cuma pake handuk." Bella menggelengkan kepalanya.
***
Anggun menatap lamat-lamat rumah bergaya klenik di hadapannya. Hampir keseluruhan bangunan di cat warna hitam. Di halamannya terdapat sebuah patung besar, sang penjaga rumah. Dengan hanya melihat sekilas saja, semua orang pasti tahu nama patung itu. Sang legenda, Macan Cisewu.Dalam hati Anggun berkata. "Duh, masa sih gue harus pakai yang kayak beginian. Kata pak ustadz Gifur ini musyrik, dosa besar. Tapi gue galau, gue haus, gue harus gimana?"
"Ya elah, kalo haus minum. Bukannya ngomong dalem hati kayak di sinetron."
Anggun terkejut dan menoleh ke belakang.
"Ratu, sejak kapan lu ada di situ. Bikin gue jantungan aja."
"Sejak abang penjual daster make barang dagangannya buat promosi." Ratu menghembuskan napasnya yang tampak berat. "Udah siap? Yuk, laki gue udah nyiapin semuanya."
"Laki? Emangnya lu sama Arief udah? Anu?"
"Sssttt, jangan sebut nama itu disini. Namanya mister Je. Oke."
Ratu menarik tangan Anggun perlahan mendekati pintu rumahnya yang sangat besar. Jika dilihat dari puncak monas menggunakan sedotan. Mereka berdua terlihat seperti liliput yang sedang mencari makan. Di pojok kanan atas dari pintu itu terdapat sebuah tombol yang terlihat bisa dipencet. Ratu menatap tombol itu dengan penuh arti.
"Ratu, kok kita gak jadi masuk? Lu ngeliatin apa?" Tanya Anggun bingung.
"Pintunya berat, bego. Ya mau mencet bel biar ada yang bukain."
"Terus kenapa nggak dipencet?"
Ratu mentap tajam ke arah Anggun.
"Lu lupa kalo kita ini cewek semampai, alias semeter tak sampai. Buruan jongkok, biar gue yg mencet bel nya."
Anggun mengangguk sambil nyengir. "Eh, bentar berat badan lu berapa?"
"46."
"Gue cuma 43. Berarti gue yang diatas dong." Tampak Anggun sangat senang.
"Ya udah buruan. Apes gue kalo punya tamu kayak lu setiap hari."
Setelah saling bahu-membahu, bekerja sama, ringan sama di jinjing, berat nambah sekilo aja udah bikin mereka galau. Akhirnya terdengar suara bel yang cukup nyaring dari dalam rumah.'Assalamualaikumm... Ya akhi, ya ukhti. Assalamualaikumm... Ya akhi, ya ukhti.'
Pintu pun terbuka perlahan. Muncul dua orang lelaki yang terlihat sangat mirip satu sama lain. Mereka berbicara hanya satu kata saling bergantian.
"Mana."
"Nggak."
"Ada."
"Orang."
"Hei, jangan kurang ajar kalian ya."
"Oh."
"Maafkan."
"Kami."
"Kanjeng."
"Ratu."
"Udah ah, minggir sana. Saya mau masuk. Pusing dengerin kalian ngomong. Hayu Anggun."
Anggun mengikuti langkah Ratu. Namun ia seperti mengenal saudara kembar itu.
***
Saat masuk ke dalam rumah, Anggun teringat akan sebuah pepatah. Jangan pernah menilai sesuatu dari luarnya saja. Sepertinya pepatah itu benar. Bayangan sebuah rumah megah dengan perabotan mewah buyar seketika. Di dalam rumah hanya ada sebuah meja plastik dikelilingi lima kursi yang juga terbuat dari plastik. Tampak disana dua orang lelaki memakai jas, berkacamata hitam dan bertopi koboi. Salah satunya sibuk menggosok cincin batu yang memenuhi jemari tangannya. Sementara yang satunya sibuk mengarahkan senter ke cincin batu yang hampir memenuhi meja."Oh, sudah datang rupanya. Welcome, welcome. Mari silahkan duduk." Lelaki pemakai cincin batu berdiri, lalu menunduk, mempersilahkan Anggun untuk duduk.
Dengan perlahan Anggun duduk di kursi yang sudah di sediakan. Sekali lagi, Anggun merasa seperti mengenal dua lelaki ber-jas dihadapannya. Tak lama Ratu datang membawa sebotol air mineral.
"Nih, minum dulu, tadi katanya haus. Air botol yang ini enak, ada asin-asinnya pas diminum."
Anggun bergidik. "Bukan, maksud aku bukan haus mau minum. Tapi haus..."
"Ssshhhh..." Lelaki bercincin batu memotong perkataan Anggun. "Kamu haus belaian kan? Kalau benar anggukan kepala."
Anggun terkejut, tanpa sadar ia mengangguk.
"Baik, mari kita mulai investigasinya." Lelaki bercincin batu melepas kacamatanya. "Saya mister Je. Dan ini asisten saya yang paling teliti, Picik." Lelaki yang sejak tadi asyik memainkan senter membuka kacamatanya, lalu tersenyum. "Dan kamu juga pasti sudah bertemu si kembar Tata dan Tete."
Seisi ruangan kaget, saat Anggun mendadak tertawa keras.
"Astaga, pantesan kok kayak kenal. Kak Arief, kak Nizar, kak Evan, sama kak Andre lagi pada ngapain? Kok nggak ngerjain skripsi? Masih betah jadi mahasiswa abadi? Hahahahaha."
Je melihat ke Ratu dengan raut wajah kebingungan. Namun Ratu menggelengkan kepalanya. Anggun terus tertawa terbahak sampai memegang perutnya. Picik memakai kembali kacamatanya.
"Tidak salah lagi, teman kanjeng Ratu sudah dirasuki oleh hantu paling jahat. Namanya JOREGA!" Ucap Picik berapi-api.
"Jorega."
"Itu."
"Apa?"
"Jorega adalah hantu terjahat pengganggu hubungan cinta para anak muda. Semasa hidupnya ia selalu menjadi korban perasaan. Nama Jorega diberikan bukan tanpa alasan. Jorega adalah singkatan dari JOmblo REntan GAlau. Ya, siksaan terpedihnya adalah galau tanpa mengenal waktu maupun tempat." Jelas Picik secara terperinci.
Anggun tertawa semakin keras, Ratu yang melihatnya ketakutan.
"Jadi kita harus gimana?" Tanya Ratu sedikit panik.
Mister Je memasang kembali kacamata hitamnya. "Kita harus membawanya ke Bandung."
"Mantap!" Ucap Tata dan Tete bersamaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Keluarga Bencana
HumorAfa harus bertanggung jawab atas kelakuannya di masa yang lalu. Jika tidak, Anggun anak sulungnya, akan selamanya dikutuk menjadi jomblo. Citra, istri Afa, merasa gaya hedonnya masih bisa disaingi oleh Widya tetangga seberang rumah. Tak mau tahu ba...