"Jadi bagaimana ki?"
Kakek tua dengan jenggot yang memanjang hingga dada itu, menempelkan jari telunjuknya ke mulut si penanya. "Ada hal besar yang harus kamu selesaikan terlebih dahulu." Ucapnya setengah bergumam. Jenggot putihnya bergetar perlahan, seakan ada aliran listrik yang melewati setiap helainya.
Sedetik kemudian tercipta antrian. "Oi bro, buru gantian, handphone gue juga lowbat nih." Dengan hanya mendekatkan handphone ke jenggot si kakek. Baterai yang hampir habis dalam sekejap terisi penuh. Di sebelah si kakek tersedia sebuah kotak bertuliskan. 'Sedekah se-ikhlasnya tapi, minimal seratus ribu by Ki Anom Jenggot Langit.'
Ki Anom tampak menghela napas, jenggotnya tak lagi bergetar. Beberapa orang yang tak kebagian jatah isi ulang membubarkan diri dengan kecewa.
"Dia punya masa lalu yang belum diselesaikan." Ucap Anom dengan nada lirih.
Baru saja mau bertanya kembali, ki Anom mendahuluinya.
"Gifur, maafkan, bukannya Aki bermaksud menahan-nahan niat baik kamu. Walaupun saya mengerti, yang ditahan-tahan itu memang nggak enak."
"Baiklah ki, saya mengerti."
"Percayalah Gifur, yang ditahan itu, nanti, pas nemu jalan keluarnya, enak banget loh." Ki Anom nyengir, giginya berusaha untuk terlihat, tapi kumisnya terlalu lebat. "Gini-gini, saya pernah muda. Tapi saya nggak pernah ngalamin kayak kamu. Nahan gitu, nggak enak yah. Ciyan deh. Hahahaha."
Gifur menundukkan kepala. Kalau saja si kakek dihadapannya ini bukan gurunya, sekaligus target untuk menjadi calon mertuanya. Gifur ingin mengolahnya menjadi perkedel.
Tak lama muncul Nithana dari dalam rumah dengan membawa nampan. Wajahnya secerah rembulan disaat purnama. Matanya mengisyaratkan kesejukan hati pemiliknya. Tapi sayang, alisnya terlalu tebal seperti digambar oleh anak-anak yang belum akil baligh.
"Heh, heh, itu ilernya netes kemana-mana itu loh." Ucap Ki Anom mengejutkan Gifur yang sejenak hilang ingatan.
"Nak, kamu nggak lupa buat ngasih racun kan di tehnya?" Tanya Ki Anom ke Nithana.
"Sudah aku kasih ayah. Tapi kayaknya nggak mempan buat mas Gifur. Cintanya ke saya sudah menetralisir racunnya bahkan sebelum diminum."
Gifur tersipu malu mendengar perkataan Nithana. Begitu pun dengan Nithana yang berusaha mencuri pandang ke arah Gifur.
"YALORRRRDDDD!!!" Ucap Ki Anom mengejutkan Nithana dan Gifur. Merasa diperhatikan dengan tatapan aneh, Ki Anom membetulkan letak duduknya. Kemudian dielus jenggot putih kesayangannya.
"Anu, barusan Aki main werewolf di telegram. Ternyata aki salah kamar, bukannya ena-ena malah mati." Ki Anom berdehem berusaha mengembalikan wibawanya.
Ki Anom menggerak-gerakkan kumisnya ke arah Nithana. Dengan malas Nithana berjalan kembali masuk ke dalam rumah. Sesaat sebelum masuk, Nithana menoleh ke arah Gifur. Tatapan matanya bergetar saat ia menyadari kalau Gifur juga terus memperhatikannya. Ia menjadi salah tingkah.
Apa yang terjadi kemudian sungguh memalukan. Kaki Nithana tersangkut keset yang ia injak. Jidatnya terbentur ke tembok. Sialnya, nampang yang dipegangnya, melayang dengan indah. Lalu dengan tepat menimpa jidatnya. Sambil menutup mukanya yang memerah karena malu, Nithana menyeret dirinya perlahan masuk ke dalam rumah. Persis seperti suster ngesot.
"Mamam tah! Makana jadi awewe ulah kacentilan teuing." Ucap Ki Anom dengan suara lantang. Merasa Gifur menatapnya dengan tatapan aneh, Anom berdehem.
"Ya, nak Gifur, seperti yang sudah aki bilang. Ada bagian dari masa lalu anak saya, Nithana, yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Dan itu sudah menjadi tugas kamu untuk menyelesaikannya. Itu juga kalau kamu mau."
"Oh sudah pasti saya mau ki." Ucap Gifur berapi-api. "Masa lalunya apa ya ki?"
"Aki nggak tahu pasti. Dari bayangan sekilas yang sempat Aki lihat. Kamu akan berhadapan dengan masalah yang cukup serius."
Raut wajah Gifur berubah. Ia tampak berusaha mengingat beberapa klien yang meminta petuah darinya. Tapi tak ada satupun yang sepertinya berhubungan Nithana sang pujaan hati.
"Gifur." Ucap ki Anom dengan suara yang amat berwibawa.
"Ya, ki." Gifur menatap ki Anom dengan serius, ia berharap ada petunjuk yang bisa membantunya.
"Maaf, saya mau ngentut."
Sesaat terdengar bunyi semacam peluit yang cukup panjang. Setelahnya, udara di ruang tamu mendadak mencekik makhluk apapun yang bernapas disana. Gifur menggelinjang sambil memegangi lehernya. Air mata menetes, menggambarkan siksaan pedih yang dialami oleh Gifur. Dengan bersusah payah, Gifur akhirnya berhasil keluar dari ruang tamu yang berubah menjadi bungker siksaan.
Anom tertawa lepas. "Bagus nak, kalau kamu bisa menyelesaikan tugas kali ini. Kamu pantas menyandang gelar, Ki Gifur Cetar Membahana!" Tawa Anom tak usai bahkan sampai pintu rumahnya tertutup.
Nithana yang melihat Gifur dari jendela kamarnya merasa kasihan. "Abang, jangan pergi. Hari ini aku ulang tahun bang. Seret neng Nith ke pelaminan bang." Bisiknya lirih.
Gifur yang masih merayap berusaha mencari udara segar menoleh ke arah Nithana. "Abang bisa denger rintihan hati kamu neng. Tapi penulisnya jahat, dia nyuruh abang ngerayap sejauh tiga kilo meter."
Sejenak Gifur dan Nithana kembali saling menatap penuh rasa rindu. Tiba-tiba ki Anom muncul dari dalam rumahnya. Gifur terkejut, segera berdiri lalu berlari sebelum semuanya terlambat.
Merasa sudah cukup jauh, Gifur berhenti dan berusaha mengatur napasnya. "Aduh, kasih kado apa ya buat neng Nith cayang. Oh iya, bikinin puisi aja!"
Gifur membersihkan jubahnya yang terlihat agak kotor. Sorbannya yang miring dibetulkan ke posisi semula. Handphone sudah di tangan bersiap untuk memberikan kado terindah untuk sang kekasih. Namun, seseorang menghubunginya.
"Pak ustadz Gifurr, tolongin saya paakk ustaddzzz..."
"Tenang dulu pak, tenang."
"Nggak bisa pak, Bella anak saya... Kabur dari rumah lagi pak ustadzz..."
Gifur terkejut mendengarnya. "Baik, bapak Afa mohon tenang. Saya akan segera ke sana secepat mungkin."
Dengan tergesa, Gifur menyalakan motor RX king miliknya. Dengan sekali tarikan gas, Gifur menghilang bagai mengendarai angin.
Sementara itu, di kamarnya yang bernuansa pink. Nithana termenung. Handphone di tangannya berulang kali dilihat tapi tak ada pertanda kebahagiaan yang dinantinya akan datang. Nithana menghela napas perlahan. Haruskah ia kembali kecewa?
Tring! Sebuah pesan masuk.
Usaikanlah sedihmu itu sayang
Berbahagialah untuk usiamu
Kau semakin dewasa, kau semakin berharga
Tunggulah aku menjemputmu
Menuju kebahagiaan kitaWajah Nithana bersemu merah. Senyuman semanis madu menyempurnakan cantiknya. Masih ada pesan tambahan dibawah kata-kata indah yang dibacanya.
Kalau kamu kira itu puisi dari Gifur,
bersiaplah kecewa.
Mana ada Gifur bisa bikin puisi.
Itu dari gue oi (penulis)
HAPPY BIRTHDAY NITHANA...
KAMU SEDANG MEMBACA
Keluarga Bencana
HumorAfa harus bertanggung jawab atas kelakuannya di masa yang lalu. Jika tidak, Anggun anak sulungnya, akan selamanya dikutuk menjadi jomblo. Citra, istri Afa, merasa gaya hedonnya masih bisa disaingi oleh Widya tetangga seberang rumah. Tak mau tahu ba...