Bencana ke Dua : Buku Tahunan

326 18 23
                                    

Beberapa kali channel televisi terus berganti. Afa memencet remot di tangannya dengan gelisah. Tak ada satu pun acara televisi yang bisa menghiburnya. Hingga tak sengaja sebuah iklan menyita perhatiannya.

"Halo kamu yang disana. Kamu lagi galau? Lagi resah? Butuh teman curhat? Ayo dong cepetan ketik REG spasi GIPUY. Aku ulang sekali lagi ya... Ge, I, Pe, U, Yeayy... Sms balesan yang kamu dapet langsung dari akyu looh."

Afa ternganga. Di layar kaca tampak seorang lelaki kurus memakai wig rambut panjang yang tampak kebesaran. Lelaki itu juga terlihat memegang alat pom-pom di kedua tangannya. Sesekali lelaki itu memainkan alat pom-pomnya sambil mengulang perkataan yang sama.

"Inikah pertanda akhir zaman? Ya tuhan ampuni dosa hambamu ini." Belum selesai Afa berdoa, ia menyadari sesuatu. "ASTAGA! DASAR BANCI KALENG! ITU KAN ANGGA!"

= sepuluh tahun yang lalu =

"Gimana fa? Nanti malem jadi kan mangkal lagi?" Tanya Angga antusias. Mukanya sudah di make-up dengan sangat sempurna. Bahkan seorang puteri pemenang kontes pun kalah cantik.

"Sorry ngga, gue kayaknya pensiun deh."

"Ah, nggak asik lu. Malem ini yang terakhir deh."

"Tapi gue mau bantu Rienda motret anak-anak buat buku tahunan nih."

"Besok masih bisa. Yuk ah mangkal dulu."

Afa bimbang. Tak lama ia pun berdiri lalu menatap ke mata Angga dengan penuh hasrat. Jari kelingking Afa maju ke hadapan Angga.

"Janji ini yang terakhir?"

"Iya janji."

Angga menyambut kelingking Afa dengan kelingkingnya. Membentuk simbol perjanjian selamanya. Namun senyum kecil di bibir Angga menandakan hal lain.

***
Rienda berulangkali menghubungi Afa tapi tak satu pun panggilannya terjawab. Coyot yang ada disampingnya jadi ikut gelisah.

"Apa sih yang bikin lu kesengsem banget sama dia. Masih gantengan gue kali." Ucap Coyot lirih.

"Bukan itu, gue cuma butuh foto dari dia. Besok harus naik cetak."

"Ya udah, kita susulin aja ke rumahnya."

"Ya udah, buruan." Rienda tampak sedikit kesal.

Tak lama muncul Coyot dengan motornya.

"Sorry Rien, gue lupa cuma bawa helm satu."

"Sini gue yang pake. Ntar mata gue kecolok sama rambut lu lagi kayak waktu itu. Lagian gak ada niat buat potong rambut apa. Lu tuh kalo didandanin mirip cewek banget loh. Panjangin kumis sama bewok lu napa, biar keliatan laki dikit. Heran gue. Kok ada cowok suka manjangin rambut. Perawatan rambut kan susah, mana mahal lagi. Duit kiriman gue tiap bulan aja abis cuma buat ke salon. Eh, malah rambut lu yang keliatan bagus kayak gitu, kan nggak adil banget. Gue yang cewek yot, ngertiin dikit napa."

Rienda baru tersadar kalau Coyot dengan motornya sudah tidak lagi di hadapannya. Berganti dengan sebuah tenda lipat yang tampak dihuni oleh seseorang. Dengan perlahan Rienda mencoba membuka pintu tenda tersebut.

"Yot, jadi nganterin gue nyari Afa nggak?"

Saat pintu tenda terbuka penuh, Rienda ternganga dengan apa yang dilihatnya. Kakek tua itu tampak mirip sekali dengan Coyot. Hanya saja rambut panjangnya berubah menjadi putih. Kumis dan jenggot tumbuh panjang sampai ke perut. Hingga tampak menyambung dengan bulu di bagian bawah. Wajah Rienda berubah sebal saat kakek itu tersenyum genit. Dengan kesal dibaliknya tenda itu, hingga Coyot tampak gelagapan di dalam tenda.

"Dasar cowok, semua sama aja. Kan wajar cewek punya bibir dua. Bawel dikit nggak apa kali. Cuma tinggal dengerin doang apa susahnya sih. Padahalkan menurut para ahli cewek yang rame mulut atasnya, itu ahli di ranjang. Payah. Mikirnya nggak jauh ke masa depan sih. Cuma ngertiin sama sabarin dikit apa susahnya."

(mohon maaf karena panjangnya ocehan Rienda, penulis memutuskan untuk men-skip-nya)

Di salah satu lampu merah yang tak terlalu ramai. Terlihat dua sosok berbadan kekar dengan gerakan aduhai. Salah satunya terlihat bosan.

"Udah yuk ah, gatel nih ketek gue." Keluh Afa.

"Yaelah bentar lagi napah. Recehan gue belom banyak nih." Ucap Angga bersungut-sungut. Bibir merah meronanya membuat jijik kucing yang tak sengaja melintas. Sesaat kemudian kucing itu muntah-muntah lalu pingsan.

"Gue balik duluan deh. Takut Rienda nyariin, lu tau sendiri kalo dia udah ngomong nggak ada berhentinya kecuali tokek bisa beranak buaya."

"Nah, itu lu dah mulai ketularan tuh." Angga tertawa terbahak.

Afa tak memperdulikan tawa Angga. Dengan langkah pasti di tinggalnya Angga yang tak juga berhenti tertawa. Saat menyadari Afa sudah pergi menjauh, Angga mulai panik.

"Woi banci! Kok ninggalin gue sendirian. Entar kalo gue diculik gimana? Woiii... Tungguiinn..."

Seorang pemulung yang duduk tak jauh dari sana menggelengkan kepalanya. Ia tampak berkata kepada angin yang berhembus perlahan.

"Inikah pertanda akhir zaman? Ya tuhan ampuni dosa hambamu ini."

***
Keesokan harinya Afa menghampiri Rienda yang sedang duduk sendiri di bangku taman. Tatapannya mengarah ke depan kosong.
"Hai Rien, nih foto nya udah semua."

Rienda menatap Afa dengan wajah datar tanpa arti.

"Nggak usah, udah jadi nih buku tahunannya."

"Loh, tapi kan, aku belom ngasih foto."

Seketika telunjuk Rienda menempel di bibir Afa. Matanya memberikan isyarat kepada Afa untuk menerima buku tahunan yang disodorkannya. Dengan perlahan Afa membukanya.

"Astaga! Amit-amit... Amit-amit... Ini kenapa foto aku sama Angga pake foto yang ini? Nggak bener nih!"

Tercetak dengan jelas dan besar di buku tahunan tersebut foto Afa dan Angga sedang bergandengan tangan. Tangan yang lain terlihat sedang memainkan kecrekan dengan gemulai. Mereka berdua tampak bahagia dengan tawa riang yang menghiasi wajah. Disudut kiri bawah tertulis dengan huruf jelas. Love till the end.

"Udahlah fa, aku udah tau semuanya. Aku kecewa sama kamu, sakit tau nggak diginiin."

"Tapi Rien, aku bisa kok jelasin semuanya."

"Cukup."

Rienda perlahan pergi menjauh, tinggallah Afa sendiri menatap foto dirinya di buku tahunan tersebut. Masa depannya suram.

= kembali ke masa kini =

Setelah puas membongkar gudang. Akhirnya Afa menemukan buku tahunan yang sejak dahulu ingin dibakarnya.

"Ini nih awalnya, gue harus ketemu sama Rienda."

Saat melintas ruang televisi, tampak iklan yang sama masih muncul berulang kali.

"Dan elu Angga, gue akan balas dendam. Tunggu aja pembalasan gue."

Keluarga BencanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang