Setelah berpamitan dengan Kim Mingyu, Jihoon berjalan memasuki stasiun menuju loket untuk membeli tiket ke tempat yang telah lama ia tak kunjungi. Dengan suara yang sedikit bergetar menahan segala emosi yang ada di dalam hatinya, Jihoon langsung memesan tiketnya saat ia telah berada tepat di depan loket tersebut dan disambut oleh seorang wanita cantik yang melayaninya.
"Tolong tambah satu tiket lagi yang bersebelahan dengannya." Jihoon yang sedang memegang dompet dan akan mengeluarkan uangnya langsung terkejut saat ia melihat Mingyu yang tiba-tiba sudah berada di sampingnya.
"Apa yang kau lakukan disini?" Jihoon menatap Mingyu dengan tatapan tidak percaya.
"Terimakasih." Mingyu mengambil tiket kereta mereka dari tangan wanita cantik itu dan membayarnya. Ia pun langsung berjalan meninggalkan Jihoon yang masih menatapnya dengan bingung.
"Oh, Busan? Apa kita akan ke rumahmu?" Mingyu membalikkan badannya setelah ia membaca tujuan di tiket tersebut dan menatap Jihoon yang masih berdiri mematung menatapnya.
"Umm... Jihoon-ssi, kereta kita 10 menit lagi akan berangkat, jika kau masih berdiri mematung seperti itu, kita bisa tertinggal-" Jihoon seketika langsung mempercepat langkahnya menghampiri Mingyu yang belum menyelesaikan perkataannya itu dan segera menarik lengannya menuju kereta yang akan mereka tumpangi.
"Untunglah kita tidak terlambat." Jihoon menghempaskan tubuh lelahnya sambil menyandarkan kepalanya ke jendela yang ada disebelah kanannya. Ia mengambil ponsel yang ada di sakunya, menatapnya sejenak, dan kembali menggenggam erat ponsel itu ditangannya.
Mingyu hanya terdiam melihat sikap Jihoon. Ia benar-benar tidak berani untuk memulai pembicaraan diantara mereka. Ia memang mengkhawatirkan kondisi Jihoon tapi disisi lain ia merasa ini bukanlah waktu yang tepat untuk menanyakan hal ini kepada Jihoon. Mingyu pun memutuskan untuk memainkan sendiri ponselnya berharap ia dapat menghiraukan ekspresi wajah Jihoon yang masih belum dapat Mingyu pecahkan itu.
Satu setengah jam telah berlalu dan suara getar ponsel Jihoon memecah keheningan mereka.
"Halo, Harin-ah bagaimana kabar Eomma?" Jihoon dengan sigap langsung mengangkat ponselnya yang baru bergetar sepersekian detik itu.
"Ah..syukurlah.." Jihoon memejamkan matanya sejenak untuk menghentikan air mata yang mencoba keluar dari ujung matanya.
"Aku masih di kereta, iya aku pasti hati-hati. Kau sendiri juga harus hati-hati dan jaga Eomma baik-baik sebentar lagi aku akan sampai."
"Apa itu.. dari adikmu?" Mingyu mulai membuka suaranya dengan hati-hati saat Jihoon telah menutup ponselnya.
Jihoon mengangguk kecil masih dengan menatap ponsel yang ada ditangannya.
"Apa.. telah terjadi sesuatu dengan keluargamu?"
Jihoon yang tadinya masih menatap layar ponselnya sekarang ia telah mengalihkan tatapannya ke Mingyu.
"Kondisi kesehatan Eomma sempat menurun dan harus dilarikan ke rumah sakit, tapi sekarang sudah baik-baik saja. Aku harap begitu." Ujarnya pelan masih dengan sedikit nada khawatir.
Mingyu tersenyum lega dan menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi untuk melemaskan otot-ototnya yang tanpa ia sadari ikut menegang saat ia melihat perubahan tingkah laku Jihoon sejak sore tadi.
Jihoon memperhatikan Mingyu yang sedikit demi sedikit mulai memejamkan matanya masih dengan senyuman kecil yang menghiasi wajahnya.
Mingyu yang sudah merasa lelah dan mengantuk mengurungkan niatnya untuk beristirahat karena ia merasa seseorang sedang menatapnya. Ia pun membuka matanya perlahan untuk mencari sumber tatapan mata yang membuat dirinya tidak nyaman itu sampai akhirnya matanya bertemu dengan Jihoon.
"Apa?" Mingyu bertanya kepada Jihoon sambil membetulkan posisi duduknya.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Jihoon balik bertanya kepada Mingyu.
Mingyu berdehem dan mengubah-ubah posisi duduknya tidak nyaman.
"Ah, lihat! Itu yang jual makanan telah datang. Kau mau makan apa? Aku sangat lapar sekali."
Mingyu memilih-milih makanan yang tersedia di kereta dorong itu dan mengambil makanan yang cukup banyak untuk ukuran satu orang. Ia benar-benar sangat kelaparan. Sifatnya yang gila kerja membuatnya sering melupakan makan siang. Tidak terkecuali siang tadi.
"Jihoon-ssi, kau mau yang mana?" Mingyu menatap Jihoon yang masih menatapnya dengan bingung.
Jihoon menggeleng. "Tidak perlu. Aku baik-baik saja."
Mingyu menghela nafas. Ia pun mengambil sebotol susu pisang dan segera membayarnya.
"Setidaknya kau harus minum sesuatu." Jihoon melihat tangan Mingyu yang sedang menyodorkannya susu pisang. Dengan ragu ia pun meraihnya.
Jihoon menusukkan sedotan ke ujung botol itu dan segera meminumnya seteguk. "Terimakasih." Mingyu hanya mengangguk kecil karena mulutnya sedang penuh dengan makanan.
"Kau masih belum menjawab pertanyaanku, Mingyu-ssi"
"Pertanyaan apa?" Jawabnya santai masih dengan mulut yang penuh dengan makanan.
"Kenapa kau ada di sini?" Mingyu langsung tersedak oleh kimbab tuna yang sedang ia makan dan dengan cepat ia langsung membuka sekaleng kopi dan meminumnya.
Mingyu kembali menatap Jihoon yang masih menatapnya. Kali ini Jihoon menatapnya dengan tatapan tajam.
"Um.. itu.. karena-"
Drrt..Drrt..
Ponsel Jihoon kembali bergetar. Ia langsung mengangkat telfonnya tanpa membaca siapa penelfon itu.
"Jihoon, my dear.. Apa semua baik-baik saja? Apa kalian sudah sampai?" Jihoon yang terkejut mendengar suara dari balik telfon itu langsung menatap layar ponselnya dan langsung menatap Mingyu yang berada disebelahnya.
"Ah. Selamat malam Nyonya Kim. Semua baik-baik saja dan kita masih ada di kereta sekarang." Mingyu benar-benar merasa lega saat Jihoon memanggil penelfon itu dengan sebutan Nyonya Kim. Bagaimana tidak, Eommanya telah menyelamatkannya dari situasi yang awkward. Sampai sekarang Mingyu sendiri tidak tahu mengapa ia merasa harus menemani Jihoon. Saat ia melihat Jihoon melewati gerbang stasiun sore tadi tiba-tiba saja tangannya langsung meraih ponsel dan langsung menghubungi Eommanya dan mengatakan ia akan menemani Jihoon dan mereka berdua tidak dapat mengikuti acara makan malam keluarga itu dan ia mengorbankan waktu berharganya untuk bertemu dengan seseorang yang sudah lama ia rindukan. Tapi saat Jihoon bertanya kepadanya mengapa ia disini, ia benar-benar tidak bisa menjawabnya karena ia sendiri benar-benar tidak mengetahui apa jawabannya.
"Nyonya Kim bilang ia tidak bisa menghubungimu karena ponselmu mati jadi ia menelfonku." Perkataan Jihoon langsung membuyarkan lamunan Kim Mingyu. "Nyonya Kim juga berpesan kau harus segera menghubunginya nanti apabila kita telah sampai." Jihoon melanjutkan. Kim Mingyu tidak membalas perkataan Jihoon melainkan ia meraih sebuah kimbab tuna dari dalam plastik yang ada dipangkuannya. "Makanlah ini." Jihoon tidak merespon. "Jika kau tidak ingin mengkhawatirkan keluargamu lebih baik kau isi perutmu terlebih dahulu. Aku tidak mau keluargamu menganggap aku tidak menggajimu dengan layak sampai anaknya terlihat semakin mengecil dan kurus kering seperti ini." Jihoon dengan kesal langsung meraih kimbab yang berbentuk segitiga itu dari tangan Kim Mingyu. "For Your Information Kim Mingyu-ssi tubuhku semakin mengecil dan kurus kering seperti ini karena memang kesalahanmu. Kau tidak pernah berhenti bekerja. Kau benar-benar workaholic sehingga kau selalu merepotkanku 24 jam." Mingyu hanya mengangkat bahunya. "Well, itu sudah tugasmu." Jihoon memutar bola matanya dan mulai memakan kimbabnya. "Terima kasih." Ujar Jihoon pelan sambil mengalihkan pandangannya ke jendela menyembunyikan pipinya yang memerah.
Jihoon terus memandang ke arah jendela sambil memakan kimbab dan menghabiskan susu pisangnya. Tanpa Jihoon sadari Kim Mingyu tersenyum kecil di sampingnya. Entah apa yang sedang dipikirkannya, yang jelas bagi Kim Mingyu walaupun ia tidak tahu mengapa ia memutuskan untuk menemani Jihoon malam ini dibandingkan bertemu dengan seseorang yang telah lama ia tak temui, ia tidak pernah menyesali keputusannya. Ia bahkan merasa lega Lee Jihoon telah kembali menjadi dirinya yang semula. Ia merasa lega ia dapat menyaksikan sendiri perubahan itu. Ia merasa lega saat ia melihat Jihoon yang sudah terlihat mulai tenang, atau setidaknya itulah yang Kim Mingyu yakini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Will You Marry Me?
Fanfiction"Kau membenciku, kan? Aku juga sangat membencimu, maka dari itu menikahlah denganku."