Persona-05

100K 9.8K 251
                                    

by sirhayani

part of zhkansas

___

"Elvan!"

Suara panggilan dengan nada tinggi itu membuat Elvan menghentikan langkahnya saat tiba di tengah-tengah undakan tangga. Dia tak sekalipun berniat untuk menoleh ke belakang, ke asal di mana pemilik suara itu berada.

"Dari mana?" Areta menatap anak bungsunya itu sambil berdecak kesal. "Dari kemarin sore kamu udah hilang aja dari rumah. Sekarang udah jam tujuh dan kamu sama sekali nggak takut terlambat ke sekolah."

Namun, Elvan masih tetap bergeming di tempatnya.

"Mama tanya kamu kenapa malah diem kayak patung di situ?" tanya Areta dengan nada penuh amarah. Dia menatap anak laki-lakinya yang setahun belakangan ini berubah. Elvan bukan lagi anak yang patuh kepada kedua orangtua, bukan lagi anak yang sopan, dan Elvan bukan lagi menjadi pribadi yang menghargai siapa saja.

Dua bulan yang lalu Areta mengadakan arisan di rumah, Elvan bersikap tidak sopan kepada teman-teman Areta yang sebenarnya berniat bercanda kepada Elvan, tetapi anak laki-lakinya itu membalas dengan kata-kata yang membuat Areta merasa malu harga dirinya seperti dijatuhkan di depan teman-temannya bahkan oleh anak kandungnya sendiri.

"Elvan...," panggil Areta lagi, tetapi kali ini dengan suara pelan. Dan sekali lagi, Elvan sama sekali tak menggubris. Anak laki-lakinya itu meninggalkannya tanpa mengucap sepatah katapun. Membuat Areta bertanya-tanya dalam hati, "Salahku apa?"

***

Lima belas menit lagi gerbang sekolah akan ditutup, tetapi Ara masih berada tak jauh dari rumahnya. Perempuan itu melangkah tergesa-gesa hingga akhirnya keluar dari gang sempit dan saat itu juga dia melihat keramaian tak jauh dari tempatnya berhenti. Dia mengernyitkan kening, namun tersadar sesuatu akhirnya dia mengerti apa yang terjadi setelah melihat .

"Eng, Bu?" panggil Ara pelan, sedangkan perempuan paruh baya yang dia panggil itu segera menoleh kepadanya.

"Eh, Ara? Kenapa?" tanya Ibu itu.

Ara mengernyit sesaat karena bingung harus memanggil siapa Ibu itu karena dia tak tahu sama sekali. "Siapa yang meninggal, Bu?"

"Oh, itu ... anaknya Bu Diani, si Tia," katanya, menyebut nama anak perempuan berumur 7 tahun yang saat ini ramai didatangi oleh sanak dan tetangga. Tangan Ibu itu bergerak mendorong bahu Ara pelan. "Sudah, kamu ke sekolah aja. Hati-hati sekarang penjahat ada di mana-mana."

"Tapi...." Ara menahan diri untuk tetap berdiri di tempatnya. "Em... maaf sebelumnya, Bu. Tapi, saya boleh tahu kenapa dia bisa—"

Belum sempat Ara meneruskan kalimatnya, Ibu itu sudah menjawab, "katanya, dia itu keluar sama ibunya tadi malam. Katanya buat beli garem di warung. Tapi, pas Bu Diani sampai di warung, si Tia udah nggak ada. Dicari sampai subuh. Dan baru ditemuin sebelum adzan, udah nggak ada nyawa dan nggak pake apa-apa. Katanya dia udah diapa-apain sama pelaku. Masih dicari siapa yang ngelakuin itu."

Ara merasa tiba-tiba sulit untuk meneguk ludahnya sendiri. Tenggorokannya terasa tercekat setelah mendengar penjelasan dari Ibu itu. "Aku pergi dulu. Makasih, ya, Bu?"

"Udah sana. Hati-hati! Apalagi kamu tinggalnya cuma sendirian di rumah, nggak ada orangtua."

Ara tersenyum kaku. Setelah perempuan paruh baya itu kembali berjalan menuju rumah yang Ara kini pandangi, Ara langsung melangkah. Dua langkah berikutnya dia kembali fokus ke jalanan di depannya sambil memeluk buku-buku paketnya dengan erat.

PersonaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang