PARENTS (Khalif & Arin)

828 77 32
                                    

KHALIF

Pria itu menimang bayi kecil dalam gendongannya, mengecup pipi bayi itu lama, "Jadilah kebanggaan ayah, Arendra Zinan," bisiknya.

.....

Suasana berganti dengan cepat, pria itu segera berlari menghampiri putra kecilnya yang baru saja terjatuh.

"Kamu gak apa-apa dek?" tanyanya khawatir.

Bocah lelaki kecil itu menangis keras, "Sakit yah," adunya.

"Ssttt, udah jangan nangis," ujar lelaki dewasa itu sambil mengusap air mata si bocah. "Zinan itu cowok, jagoan ayah. Jagoan ayah gak boleh nangis."

.....

Kali ini siang hari, dua bocah lelaki dan seorang anak perempuan tengah berada di dalam bilik bianglala yang mulai naik.

"Mama! Ayah!" teriak seorang bocah lelaki yang paling kecil di antara mereka. Dengan semangat dia melambaikan tangannya ke arah dua orang tuanya di bawah. Senyum anak itu melebar kala melihat kedua orang tuanya membalas lambaian tangannya. Kemudian terlihat si anak perempuan menarik si bocah lelaki kecil agar duduk diam di kursi dalam bilik bianglala.

.....

Suara tamparan terdengar memecah keheningan. Mendengarnya saja terasa menyakitkan, apalagi mengalaminya seperti anak lelaki yang masih memakai seragam SMA itu.

"Kamu makin lama makin susah diatur Zinan!" teriak pria di hadapannya yang tidak lain adalah ayahnya sendiri.

.....

"Ayah."

.....

Mata Khalif terbuka tepat setelah dia melihat wajah tersenyum Zinan dalam mimpinya. Khalif ingat terakhir kali dia melihat wajah Zinan adalah sesaat sebelum anaknya itu keluar dari rumah -- hari ketika dia marah dan memukul Zinan. Tapi dalam mimpi yang baru saja dia alami wajah putranya itu terlihat sedikit berbeda. Begitu tampan dan bersih, wajah tersenyum putranya itu membuat rasa rindu Khalif pada Zinan membuncah.

Khalif menoleh ke arah Arin yang tertidur di sebelahnya. Dia membalikkan tubuhnya dan mencoba menutup matanya kembali.

Satu menit...

Sembilan menit...

Khalif membalik tubuhnya lagi, kembali menghadap istrinya.

Tujuh belas menit...

Gagal.

Pria berusia lebih dari setengah abad itu bangun dari tidurnya dan mengusap wajahnya kasar. Dia tipe yang sulit kembali tertidur ketika sudah terbangun seperti ini. Perlahan dia beranjak dari ranjangnya, berjalan ke luar kamar. Tatapan Khalif tertuju pada Dio yang tidur di atas kasur di ruang tengah. Dia beranjak ke kamar Dio untuk mengambil selimut, membawanya ke ruang tengah dan menyelimuti Dio.

Senyuman miris terukir di wajahnya ketika dia sadar bahwa Dio adalah satu-satunya putra yang dia miliki sekarang. Khalif mengusap puncak kepala Dio pelan. Tangannya bergerak lagi meraih remote tv untuk mematikan televisi. Khalif memandang sekeliling, senyuman tipis terukir di bibirnya ketika sebuah kenangan terlintas di pikirannya.

Flashback...

“Gak mau! Aku mau deket ayah!” rengek Zinan, mencoba mencakar wajah Dio yang berbaring di sebelah Khalif.

Dengan gerakan cepat Khalif menghalau tangan Zinan dari Dio, tapi sayang dia gagal menghalau kaki Dio yang menendang paha Zinan.

“Huwaaaaa! Sakiiiittt!” teriak Zinan, bocah lima tahun itu menangis setelahnya, “Ayah sakiiitttt.”

ZINAN (a Walk To Remember) (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang