Mataku terbuka. Namun seperti biasa, tak ada cahaya yang menerangi. Hanya remang malam dengan bayang laron yang berterbangan di sekitar lampu jalan. Walau tak ada jam dinding aku tahu sekarang pukul tiga pagi, seperti biasa. Sambil melawan kantuk aku bangkit dari lapisan koran tempat semalaman berbaring. Tubuhku pegal dan sendiku nyeri seperti biasa, tapi toh nanti saat bekerja juga tak akan berasa.
Langit masih terlelap sedangkan lampu jalan berusaha untuk tidap kalap. Kudayung sepedah ontel ayah dengan pelan. Angin seperti bersenandung pelan mengajakku tidur di bawah pohon beringin. Bulu kundukku berdiri, selalu saja setiap melewati pohon itu ada aura yang berbeda. Aura yang membuat ku merinding dan tak berani untuk melihat ke bawah naungan pohon itu.
Sedangkan tak jauh dari sana, tempatku bekerja merupakan tempat yang bising dan ramai. Walaupun ini masih dini hari. Tidak, bukan masih, menurut orang-orang disana adalah baru dini hari. Masa terproduktif untuk kami. Hampir dua bulan aku bekerja di sini dan syukurlah tubuhku sudah mengerti kalau aku harus kuat. Banyak tenaga yang terkuras walau pekerjaanku hanya selama kurang lebih tiga jam.
"Zur, mulai hari ini ada pelanggan baru. Dan kebetulan searah rute kamu, di Jl. Soekarno nomor 17. Tahu kan?" ucap Raka, Bosku.
"Oh iya, tahu pak." Aku menggangguk sambil mengingat posisi jalan pelanggan baru tersebut.
"Yasudah kamu cepat ganti baju"
"Baik pak, saya permisi dulu"
******************
Akhirnya punya keberanian buat ngepost ini.
Next Chapter: Bagaimana
Comment and Vote!
[alyciazz]
KAMU SEDANG MEMBACA
Jalan Menuju Terbit
Kort verhaalAzura rela melakukan apapun demi keluarganya. Semuanya ia lakukan agar adik-adiknya tidak bernasib sepertinya. Tapi apasaja yang dilakukannya?