Part 1

44.8K 1K 18
                                    

“Oh my god! Diem kamu, jangan pernah sentuh aku atau…” Namira melirik ke sekelilingnya, “Aku panggil security!”

Namira bertahan di posisinya, di ujung balkon apartemennya dengan Dani, yang kini sudah sah menjadi suaminya, dua belas jam yang lalu. Dani hanya tersenyum kecil melihat tingkah laku istrinya itu, dan ia pun berlalu meninggalkan Namira yang masih tampak ketakutan.

“Kamu nggak usah ketakutan gitu, aku juga nggak nafsu sama sekali kok ngeliat kamu. Kamu bukan tipe ku, sama sekali. Paham?”

Dani menyuguhkan secangkir kopi ke hadapan Nami, menarik gadis itu untuk duduk di sofa, di sampingnya. Kalau dijelaskan kenapa pasangan ini bisa menikah, mungkin bisa sepanjang rel kereta api. Terlalu rumit untuk dijelaskan, intinya, mereka menikah hanya karena desakan dari orang tua mereka, yang tidak lain adalah rekan bisnis. Hanya semata-mata untuk hubungan bisnis. Dua-duanya berasal dari kalangan yang sangat berada, tidak kekurangan apapun sedikitpun, hanya satu yang mereka tidak miliki, pasangan. Karena itu, mereka tidak bisa menolak saat kedua orangtuanya menjodohkan mereka bahkan sampai ke jenjang pernikahan seperti ini.

“Tapi kamu tetep laki-laki, dan aku juga tetep harus jaga-jaga.” Jawab Nami sambil meneguk perlahan kopi yang tadi Dani berikan. “Aku baru kenal kamu dua bulan, aku nggak tau siapa kamu. Maksudku, aku cuma tau nama kamu. Aku nggak tau kaya apa kehidupan kamu, siapa temen-temen kamu, cara kamu hidup, kebiasaan-kebiasaan kamu..”

“Take it easy, Nami. Kamu juga bakal tau kalo kita hidup bareng. Yang pertama harus kamu tau itu cuma isi apartemen kita ini.”

“Kita?” Tanya Nami sambil membelalakkan kedua matanya yang sudah besar itu. “Aku nggak pernah ngerasa punya apartemen ini.”

“Mulai hari ini, ini apartemen kita berdua. Kita bakal tinggal disini, nggak tau sampe kapan, mungkin sampe kita meninggal.” Jawab Dani dengan santai. “Dan yang harus kamu tau juga, aku nggak akan menyentuh kamu sedikitpun, jadi kamu nggak usah khawatir atau ketakutan setiap deket aku. Kita bisa jadi temen kan?” ucap Dani sambil tersenyum tulus pada Namira.

Namira bangun dari duduknya, menatap Dani dari ujung kepala sampai ujung kakinya. Ia memberikan nilai delapan untuk keseluruhan penampilan Dani, salah, Sembilan. Dani memang cukup tampan, mapan, dan termasuk dalam hitungan paket komplit untuk pria seumurannya. Namira mengerutkan keningnya, mencari kesalahan dari diri Dani yang ia belum tahu.

“Kamu gay ya?”

Dan itulah pertanyaan yang akhirnya muncul dari bibir Namira, hanya itu yang ada di otaknya.

Tanpa dapat ditahan, tawa Dani pecah memenuhi apartemen mereka, bahkan wajahnya memerah saat ia terbahak mendengar pertanyaan dari Namira itu.

“Aneh aja menurutku, kamu ganteng, mapan, sukses, tapi kenapa kamu nggak punya pacar? Bahkan, sampe mau dinikahin kaya gini.” Lanjut Namira.

“Coba sekarang aku yang Tanya, kenapa kamu juga mau nikah sama aku? Padahal kamu masih dua puluh dua tahun, masih sangat muda buat ngedapetin cowok-cowok yang kamu taksir. Atau, jangan-jangan kamu juga lesbi ya?”

Namira langsung melotot, menatap lekat-lekat kedua mata Dani. Percuma dia menanggapi suaminya ini, karena Namira sadar, mereka berdua sama-sama gila dengan sudah menerima perjodohan bodoh ini. Namira hanya harus memikirkan, bagaimana kehidupannya kini, hidup dengan pria asing yang baru dikenalnya kurang lebih dua bulan, dan kini, semuanya tidak akan semudah dulu lagi.

***

Namira seperti biasa melahap habis sarapan favoritnya, nasi goring buatannya sendiri. Masakan yang selalu menjadi andalannya untuk dipamerkan ke orang-orang. Suapannya terhenti saat melihat Dani keluar dari kamarnya, pria itu sudah rapi dengan pakaian kerjanya, kemeja, dasi, dan tas yang sudah berada di tangannya.

Are We A Couple?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang