Part 9

28.7K 670 5
                                    

DANI'S POV  

Namira menutupi sebagian tubuhnya dengan jaket yang baru ia kenakan. Rintik hujan malam ini seolah meledek aku dan Nami yang sejak tadi mencari tukang bakpao yang belum juga kami temukan.  

"Sabar ya.."  

Nami mengangguk.  

"Nami, kamu seneng kita mau punya baby?"  

Lagi, Nami mengangguk.  

"Walaupun ayahnya aku?"  

Nami mengangguk lagi.  

"Kamu nggak akan tau seberapa aku nggak sabarnya nunggu baby kita lahir."  

"Dani.."  

"Ya?"  

"Aku laper banget.."  

"Kamu sama baby laper? Ayo kita ke restoran dulu aja ya, Sayang."  

Namira memandangi rintik hujan di jendela mobil kami, ia selalu menghindari kontak mata denganku. Dan aku sangat merindukannya.  

Aku menghentikan mobil di salah satu restoran terbaik di kawasan Jakarta Selatan.  

"Dan, kayaknya bajuku nggak cocok deh untuk ke hotel, tadi kan kita cuma mau cari bakpao."  

Aku tersenyum, Namira sudah mulai mau berbicara denganku lagi.  

"Aku mau yang terbaik buat kamu dan baby kita. Aku nggak peduli baju apa yang kamu pakai, kamu make up atau enggak. Jadi mulai sekarang, kamu nggak usah khawatirin hal-hal kecil kaya gitu, oke?"  

Namira langsung memeluk tubuhku, tangannya melingkar di leherku, dan kurasakan ia menyenderkan kepalanya di dadaku.  

"Namira.."  

"Jangan bilang apa-apa, aku cuma mau meluk kamu aja." bisiknya.  

"Aku kangen kamu, Sayang." ucapku sambil mencium keningnya. Kudengar tawa kecil Namira yang masih memelukku.  

"Dan, kalo kita makan di rumah aja, boleh nggak? Aku masakin kamu mau?"  

"Kamu serius? Kamu udah nggak marah sama aku?"  

"Kata siapa? Aku masih marah, jadi nanti di rumah kamu harus jelasin sejelas-jelasnya, siapa itu Aira."  

***  

NAMIRA'S POV  

Dani membukakan pintu apartemen kami. Senyum di bibirnya tidak hilang dari tadi aku memeluknya.  

Kulangkahkan kakiku langsung ke dapur sambil tidak ketinggalan memakan bakpao yang akhirnya tadi aku dan Dani temukan di dekat gedung apartemen kami.  

"Kamu mau masak apa? Kamu nggak capek?"  

Aku menggeleng. Dani langsung membuntutiku hingga ke dapur.  

"Namira.."  

"Ya?"  

"Kalo kita punya baby, apartemen ini terlalu kecil."  

Ya. Jawabku dalam hati tentunya.  

"Menurut kamu, gimana kalo kita pindah ke rumah aja? Yang ada tamannya, halaman buat baby nanti kalo mau main.. Kolam renang, kamar kita juga bisa kita bikin jadi lebih besar.. Dan kamarnya juga harus banyak. Karena aku mau punya banyak anak dari kamu." ucapnya panjang lebar sambil memelukku dari belakang. Dani menyenderkan kepalanya, mencium sudut antara leher dan bahuku.  

"Kenapa mendadak?"  

"Nggak mendadak sebenernya, aku udah pengen ini dari lama. Tapi, kesempatan ngomongnya baru bisa sekarang setelah kamu mau ngomong lagi sama aku."  

Aku tertawa kecil.  

"Kamu... Mau kan?" tanya Dani menatap kedua mataku dalam.  

"Mau apa?" tanyaku sengaja memasang nada dingin padanya.  

"Punya banyak anak sama aku. Kita bisa nyicil pelan-pelan setelah baby pertama kita lahir." jawabnya sambil tersenyum-senyum.  

Tidak dapat kutahan, tawaku langsung meledak begitu mendengar jawabannya. Kuputar tubuhku sehingga kini kami berhadapan.  

"Aku kangen banget sama ketawa kamu itu, Sayang.."  

Dani langsung mencium bibirku, perlahan dan lembut.

Bagaimana aku bisa tidak memaafkan suamiku ini? Aku terlalu mencintainya.

Are We A Couple?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang