Part 7

30.7K 820 36
                                    

Matahari menemani seorang gadis yang sedang menyendiri di teras café ditemani dengan sebuah novel di tangannya. Sejak pagi sekali, Namira sudah pergi meninggalkan apartemennya dengan Dani dan memilih untuk sarapan di salah satu café favoritnya di daerah Senayan. Hubungannya memang belum membaik, dan Namira sendiri juga belum tahu langkah apa yang ia harus ambil. Sekarang, ia hanya dapat menjalani kehidupannya seperti tidak ada apa-apa dalam rumah tangganya.

"Nami, akhirnya aku temuin kamu.."

Namira langsung menoleh begitu mendengar ada seseorang yang memanggilnya dari belakang, Dani menghembuskan napasnya tidak beraturan seolah-olah ia berlari dari apartemennya menuju café itu demi mencari Namira.

"Kamu ngapain kesini?" Namira tidak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya melihat suaminya itu dengan keringat yang bercucuran kini berdiri di hadapannya.

"Ngapain? Kamu nanya aku ngapain?" Dani menghapus asal keringatnya yang bercucuran dan mulai memandang Nami tak percaya. "Kamu istri aku, dan kamu ilang dari apartemen pas aku baru bangun tidur, dan itu baru jam tujuh pagi!"

Nami tersenyum kecil, tapi rasa sakit hatinya masih belum dapat hilang dari dalam hatinya. Dengan tenang, Nami melipat kecil ujung halaman novel yang sedang dibacanya sebelum ia menatap Dani yang kini sudah ambil posisi duduk di kursi hadapan Nami.

"Aku rasa, bukan rahasia lagi buat kita, kalo hubungan rumah tangga kita itu udah nggak bagus. Udah rusak. Kenapa sih kamu harus kaya gini?"

"Kaya apa maksud kamu, Nami?"

"Ya kaya gini. Pura-pura peduli sama aku, sampe pura-pura lari entah dari mana cuma buat nyari aku. Bukannya kamu juga udah tau kalo aku nggak akan kemana-mana? Aku paling jauh cuma nongkrong disini, atau main sebentar ke rumah Ayah Ibu, atau mungkin jalan sama temen.. nggak ada yang harus kamu khawatirin kan?"

Dani mengusap wajahnya frustasi. Kenapa Namira masih juga memperpanjang masalah ini. Kerjaannya di kantor sudah cukup membuat pusing dan kelelahan, dan sekarang, Namira yang dulu ia kenal sebagai gadis sekaligus istri yang sangat menyenangkan ikut-ikutan menambah bebannya sebagai kepala keluarga. Dani mengatur napasnya, berusaha sabar menghadapi sikap Namira yang sudah terlanjur panas itu.

"Nami, mungkin kamu itu masih belum ngerti sama perasaan aku ke kamu, atau mungkin kamu pura-pura belum ngerti. Dulu, aku emang cuma anggep kamu sebagai orang asing, yang mendadak dikasih orangtuaku untuk hidup sama aku, tapi dengan tinggal sama kamu, hari demi hari aku tau, kamu bukan gadis manja seperti di pikiran aku sebelumnya. Dan aku sangat suka itu. pelan-pelan, aku mulai tertarik dengan istriku sendiri. Kadang aku pikir ini emang konyol banget kedengerannya. Tapi kamu udah ngajarin aku banyak hal, termasuk hidup."

"Dan udah deh, aku nggak mau diceramahin pagi-pagi.."

"Ini bukan ceramah. Mungkin lebih tepatnya, kisah hidup aku yang harus kamu tau. Dan satu lagi, kamu udah berhasil bikin aku sayang sama kamu Nami. Bikin aku jatuh cinta sama gadis seperti kamu. Dan itu artinya, jangan harap kamu bisa pergi dari aku. Karena bagaimanapun caranya, aku akan mempertahankan rumah tangga kita. Apapun caranya itu Nami, aku akan buat kamu yakin, kalo aku bener-bener sayang sama kamu." Dani langsung bangun dari duduknya, kembali meninggalkan istrinya di teras café favoritnya itu.

Saat itu juga rasanya kepala Namira seperti dihantam oleh sesuatu yang keras dan berat. Setiap kata-kata yang terucap dari bibir Dani benar-benar menusuknya. Dengan cepat Nami membereskan barang-barangnya dan mengejar Dani yang masih dalam jangkauan pandangnya.

"Tunggu. Ada yang harus kamu tau juga Dan." Namira menarik tangan Dani dari belakang. "Salah, kalo kamu pikir aku mau pisah sama kamu secepat ini. Aku juga nggak mau kok pisah sama kamu, jadi kamu tenang aja. Tapi, itu semua cuma untuk orangtua kita. Jadi, kamu nggak usah repot-repot berusaha bikin aku mau mempertahankan rumah tangga kita ini. Aku duluan ya." Namira lalu berjalan melewati Dani, meninggalkannya.

"Aku yang nyetir. Aku nggak bawa mobil." Sayangnya, rencana Namira gagal begitu Dani merebut kunci mobil yang sejak tadi ia mainkan di tangannya. Dan kini Namira hanya bisa pasrah.

"Nam, aku laper.." Dani memecah keheningan di dalam mobil. Namira yang sejak naik tidak membuka mulutnya sama sekali hanya mengangkat bahunya acuh. Dani melirik istrinya, Namira sama sekali belum melunak sejak kejadian Aira waktu itu. "Cari bubur monas yuk, mau Sayang?"

"Udah deh Dan.."

"Kenapa sih? Aku kan cuma ajak kamu cari sarapan, nggak ada yang salah kan?"

Sesaat wajah Namira tegang, tangannya meraih lengan Dani dengan kencang.

"Stop Dan, STOP!" Namira berteriak cukup kencang hingga Dani terkejut dan langsung menepikan mobilnya di sisi jalan. Tanpa seizing Dani, Namira segera keluar dari mobil yang membuat Dani kebingungan.

"Kamu kenapa Nami? Kamu sakit?"

Namira tidak dapat menjawab Dani, ia mengeluarkan hampir seluruh makanan yang tadi ia makan dari dalam perutnya. Dani yang melihat Namira muntah segera berlari mengambil tissue dan air putih dari dalam mobilnya.

"Perutku mual banget sama pusing juga." Keluh Namira.

"Kita ke dokter sekarang juga."

***

Namira terbaring lemah saat Dani membawanya ke unit gawat darurat rumah sakit yang berada tidak jauh dari apartemennya. Tubuh Namira masih berkeringat, wajahnya pun pucat pasi. Namira yang sejak kecil memang tidak menyukai rumah sakit merasa sangat tidak nyaman harus beristirahat di ruangan yang berbau steril itu.

"Nami, sesuap lagi ya? Kan tadi kata dokternya perut kamu harus diisi." Dengan sabar, Dani menyuapi Namira bubur ayam yang diberi oleh pihak rumah sakit untuk perut Namira yang kosong.

"Mual Dan, nanti lagi ya?"

"Siang Ibu Namira.."

Dani tersenyum melihat reaksi wajah Namira begitu namanya disebut dengan panggilan 'Ibu' oleh sang dokter. Namira selalu tidak suka dipanggil dengan sebutan itu.

"Bapak, suaminya?"

Dani langsung mengangguk begitu dokter itu bertanya padanya. Pria berjas putih itu membawa selembar kertas hasil pemeriksaan Namira, hanya butuh waktu beberapa saat hingga akhirnya dokter itu menatap Namira dan Dani secara bergantian.

"Selamat untuk kalian berdua, Ibu Namira saat ini tengah mengandung buah cinta kalian. Sudah memasuki usia empat minggu."

Dan dunia seakan tidak berputar. Baik Dani maupun Namira tercengang, keduanya stuck beberapa detik sampai akhirnya Dani yang buka suara terlebih dahulu.

"Dokter nggak becanda sama saya dan istri saya kan?" Dani langsung memeluk erat Namira yang masih belum mengeluarkan sepatah katapun. "Aku bakal jadi seorang Ayah, Namira! Makasi banyak sayang, makasi kamu udah kasih aku kebahagiaan sebesar ini. Aku belum pernah seseneng ini sebelumnya Sayang." Ucap Dani sambil mencium kepala Namira berkali-kali. Bahkan, ia lupa kalau Namira saat ini masih marah dengannya.

"Dan.. kita harus gimana?" bisik Namira lirih sesaat dokter itu keluar dari tempat Namira dirawat.

"Gimana apanya, Sayang? Aku akan ngerawat kamu sebaik mungkin yang aku bisa, dan kita akan jadi orangtua untuk anak kita." Jawab Dani sambil membelai pipi Namira. "Aku nggak akan biarin satu orangpun ngeganggu keluarga kecil kita."

"Tapi..aku sama kamu kan.."

"Nggak ada apa-apa antara aku dan Aira, Sayang."

***

please vote/comment kalo cerita ini mau dilanjutin.. Feel free to comment on my story :)

Cheers&Keep writing

Nadia :)

Are We A Couple?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang