Chapter 13 | Ignore

201 12 0
                                    

“Go back to square one, shall we?”

 

Ini sudah seminggu sejak kedatangan Rory ke sekolah. Itu berarti, sudah satu minggu aku mengabaikan Luke. Ya, aku mengabaikan pria bermata hazel itu agar bisa mengistirahatkan otakku dari memikirkannya secara terus menerus. Berdekatan dengannya adalah tindakan yang tidak sehat. Bagaimana tidak, setiap melihat ia tersenyum, atau menyapaku dengan simpel ‘hai’, rasanya aku semakin menginginkannya. Menginginkan ia agar melupakan mantan-mantannya, menginginkannya untuk sejenak memikirkanku, walaupun sepertinya hal itu sangat mustahil. Luke sudah menganggap mereka, gadis-gadis pirang itu, sebagai sahabat. Oleh karena itu aku tidak boleh berdekatan dengan Luke, kalau tidak ingin melihat ia bersama selain ketiga teman prianya, bersama sahabat tercintanya Stacy atau Cece. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak cemburu. Aku terlanjur menyukai Luke, sejak pertama kali ia mengajakku ke rumah pohon, bermain ayunan sambil makan es krim bersamanya. Terdengar klise memang, tapi bisakah kita mengendalikan perasaan kita seperti mengendarai mobil? Seandainya bisa, aku juga ingin berbalik arah, berpindah dari perasaanku yang sekarang ke tempat pertama kalinya aku bertemu dengannya di kafetaria, saat ia duduk begitu saja di hadapanku dan mengajakku mengobrol. Dimana aku sangat tidak menyukai wajah tampannya, yang terlihat seperti player dan tidak mengijinkannya untuk berteman denganku. Aku ingin kembali menjadi diriku saat itu. Tapi bagaimana caranya?

Satu-satunya cara yang terpikir olehku hanyalah menjauh darinya. Awalnya memang sulit, tetapi semenjak aku mulai mengabaikannya di kelas Kimia senin lalu, ia pun terlihat menjaga jarak denganku. Tidak lagi ia berani menyapa saat kami berpapasan di kafetaria, atau di lapangan basket, atau di koridor. (Karena sebelum ia mengedipkan mata sekalipun, aku langsung memalingkan wajah darinya, atau bahkan pura-pura tidak melihatnya). Inilah cara terbaik untuk melepaskan diri dari bayang-bayang Luke yang menempel di benakku sejauh ini. Aku harus melakukannya, meskipun itu berarti aku juga harus menjauh dari Calvin. Karena kemungkinan ia akan terus membawa-bawa nama Luke saat mengobrol denganku. Tidak akan kubiarkan Calvin menggali informasi yang bisa jadi akan ia ceritakan pada Luke nantinya. Aku tidak ingin itu terjadi, jadi sebaiknya berjaga-jaga. Menjauh dari teman-teman Luke mungkin bukan bagian dari rencana, tetapi memang seharusnya dilakukan. Aku ingin benar-benar terlepas dari Luke. Dan ironisnya, disinilah aku sekarang, sambil berjalan mengagumi Luke dari kejauhan, berharap ia tidak menyadari tatapanku yang sedari tadi memperhatikannya bermain basket. Sebelum ia menyadari, aku kembali memfokuskan tatapanku ke depan.

“Pria berambut cokelat keemasan itu memperhatikamu, Zee.” Ujar Rory sembari melihat ke belakang. “Oh my God, he’s so hot.” Rory menggumam pada diri sendiri, tapi sangat jelas terdengar di telingaku.

“Sudahlah, ayo.” Kataku menarik tangan Rory untuk berjalan lebih cepat ke kelas selanjutnya. Rory terlihat bingung, tapi ia menurut saja, mempercepat langkahnya sama sepertiku, dan sesekali melihat ke belakang.

“Ouch, ia terkena lemparan bola di kepala!” Rory meringis sembari kembali memutar kepalanya ke depan. Sebelum sempat menghentikan tubuhku yang bergerak secara reflek, kepalaku telah tertoleh ke belakang dan langsung bertemu pandang dengannya. Ya, Luke fuckin Bentley. Ia mengusap-usap belakang kepalanya tanpa mengalihkan matanya dariku meski Ashton terlihat meneriakkan kata maaf dari kejauhan. Wajahnya penuh keringat dan nafasnya memburu. Ia tersenyum dan berusaha menggumamkan kata ‘hai’ tapi aku hanya memutar kepalaku dan kembali melangkah. Mengabaikan Rory yang menatapku dan Luke secara bergantian.

“Sepertinya kau ada sesuatu dengannya.” Ujar Rory tersenyum, menggodaku.

“Sok tahu.” Balasku singkat, tanpa mengubah wajah apatis andalanku.

“Zia!” Rory menampar lenganku. Meski tidak bertemu selama hampir lima tahun, kurasa kemampuan Rory untuk membaca ekspresiku sama sekali belum hilang. Tentu saja, ia sudah menjadi sahabatku selama bertahun-tahun. Tidak ada sahabat yang mengenalku sebaik dirinya.

Perfect FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang