Chapter 10 | Lunch With Calvin

279 15 3
                                    

"Love is madness."

Pada awalnya, aku tidak tahu apa itu cinta. Yang kutahu hanyalah cinta itu buta. Cinta bisa merubah seseorang. Cinta bisa membuat seseorang melakukan hal bodoh. Cinta bisa membuat dunia terasa lebih indah. Cinta alasan mengapa seorang wanita dan pria memutuskan untuk menikah—er, benar kan? Tapi satu dari sekian banyak persepsi, hanya ada satu yang aku mengerti; cinta bisa membuat seseorang menjadi gila.

Ya, gila. Bagaimana tidak? Aku menemukan diriku menjadi ‘terobsesi’ pada mata, bibir, sixpacks, punggung, dan semua bagian yang menjadikan kesatuan tubuh yang utuh seorang Luke Bentley. Belum sampai disitu, aku juga menemukan diriku memperhatikan segala hal tentang Luke yang seolah terpatri dengan sendirinya dalam ingatanku. Setiap gerak yang ia lakukan, caranya berjalan, caranya menatapku, caranya menggenggam tanganku, caranya memelukku, caranya tertawa, terkekeh, menyeringai, caranya bercanda dengan teman-temannya, caranya bertengkar dengan adiknya dan caranya menatap Ashton dengan tatapan predator saat si pirang terus menggodaku dengan seringai dan kedipan matanya, serta caranya mengalirkan sengatan aneh pada tubuhku yang orang lain tidak dapat melakukannya, kecuali dirinya. Semuanya seolah menjadi hal-hal yang tidak bisa aku lepaskan dalam pikiranku.

Dan tahu apa yang lebih gila? Simak ini. Berdasarkan riset dan pengamatan yang kulakukan pada diri sendiri, sebagai pembuktian bahwa cinta itu memang benar-benar bisa membuat seseorang menjadi gila, kutemukan bahwa; hampir tujuh puluh persen dari dua puluh empat jam—tiga puluh persen adalah jam tidur—secara sadar ataupun tidak, waktu yang dimiliki seorang manusia yang sudah mencapai titik kedewasaan (dewasa disini berarti sudah bisa mengenal lawan jenis), terpakai untuk memikirkan seseorang yang dicinta. Ia sedang berada dimana, memakai baju apa, melakukan apa, apakah ia sudah makan atau belum, apakah ia dalam keadaan sehat jasmani atau rohani, apakah ia sedang sendirian, bersama teman atau... Oke, cukup. Itu gila, bukan? Memikirkan orang yang bahkan belum tentu memikirkan kita juga. Bagiku itu adalah hal yang sangat bodoh, tidak berguna, dan membuang waktu. Tapi mau bagaimana lagi? Ini adalah sebuah fenomena yang terjadi begitu saja dan tidak bisa dikendalikan. Ini adalah hal yang alami, yang aku yakin semua orang pasti pernah mengalaminya.

Dan sepertinya aku benar-benar tidak bisa mengeluarkan Luke dari dalam kepalaku. Dimanapun aku berada, apapun yang aku lakukan, mata hazel itu seakan menari-nari didalam angan-anganku. Holy-motherfucker-shitty shit. Ini konyol. Aku tidak bisa begini terus. Bahkan aku menjadi tidak sabaran, menanti-nanti hari senin agar cepat datang. Padahal ini baru hari rabu. Hari terasa menjadi lebih cepat berlalu saat pikiranku menjadi sibuk. Sibuk mencari cara untuk berhenti memikirkan Luke sepanjang waktu. Dan itu membuatku lelah. Ditambah dengan memikirkan bagaimana perasaan Luke pada Cece. Pikiran-pikiran seperti itu seakan mengkonsumsi energiku. Aku butuh penyegaran. Benar-benar membutuhkannya. Bahkan mendengarkan lagu-lagu punk rock yang biasanya bisa membebaskan isi kepalaku yang penuh sesak, untuk kali ini tidak berhasil. Entahlah apa lagi yang harus aku lakukan. Membaca novel-novel koleksiku atau merangkum buku-buku pelajaran, yang kuharap bisa mengalihkan pikiranku dari Luke, ternyata sama sekali tidak membantu. Lama-lama aku bisa frustasi. Oke, itu sangat berlebihan. Aku tidak akan seperti itu. Tapi bisa saja itu terjadi, siapa yang tahu? Kuharap tidak. Jangan sampai terjadi.

***

Pandanganku seakan kosong melompong, padahal jelas sekali arah mataku tertuju pada papan tulis. Pulpen dalam genggaman hanya kugigiti ujungnya, kebiasaan buruk yang seringkali kulakukan dalam keadaan tidak sadar. Aku melamun, ragaku disini, tapi pikiranku melayang-layang entah kemana. Hingga tak terasa bel tanda selesai mata pelajaran berbunyi nyaring, menyeretku ke dunia nyata. “Fuck.” Gumamku saat menyadari di dalam lembaran buku tulisku tidak ada sedikit pun catatan yang berarti, hanya nama “Luke” “Lucas” “Matthew” dan “Bentley” dalam mode benang kusut di sana-sini ditambah gambar bentuk hati yang sangat menjijikkan. Mataku membulat dengan horor. Cepat-cepat kututup buku tulis matematika itu dan kumasukkan kedalam ransel.

Perfect FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang