Chapter 2 | Meet Luke

1K 22 2
                                    

“What kind of similarity we have?”

Beruntunglah, hari kedua belajar di tahun terakhir ini aku sudah disuguhi dengan mata pelajaran favoritku. Kimia di jam pertama dan Fisika di jam kedua. Awalnya, guru maupun semua murid di kelas menghujaniku dengan tatapan mencemooh—maklum saja, mereka baru bertemu denganku di tahun ini—tapi setelah pelajaran berakhir, aku dapat melihat jika sebagian dari mereka mulai menghargaiku. Meskipun ada sebagian juga yang tetap memandang rendah. Masa bodoh dengan mereka, aku menganggap mereka hanya iri padaku. Dan pria yang tersenyum di kelas Kimia itu, masa bodoh siapa namanya. Saat berada di sekolah aku terlalu acuh pada sekelilingku. Padahal kurasa, kami sering bertatap muka secara tak sengaja.

Aku melempar-lemparkan buah apelku ke udara, saking bosannya. Saladku sudah tandas tak bersisa, tapi belum ada tanda-tanda dari kedatangan teman-temanku. Astaga, kemana perginya pria-pria sialan itu? Aku mulai gusar. Meskipun terlihat santai, malah terkesan apatis, jantungku berdegup kencang saat seorang pria duduk di hadapanku tanpa permisi. Aku memperhatikannya dari sudut mataku. Tanpa mengubah posisi dudukku—bersender dengan lengan terjulur ke sandaran dan kaki kanan terangkat ke paha kiri—aku mengamatinya dengan wajah datar seraya mengunyah apelku kemudian menelannya. Menggigit, mengunyah, lalu menelannya lagi. Hanya suara apel yang bersentuhan dengan geligiku yang terdengar disini selama beberapa detik. Aku mengangkat kedua alis, mempertanyakan keberadaannya dengan bahasa tubuh. Aku tak terbiasa berbicara saat makan, menurutku itu tidak sopan. Tapi di luar dan di rumah tentu saja berbeda, jika di rumah, mau sopan atau tidak Toby tidak akan protes. Setidaknya aku jadi tidak perlu repot-repot untuk menjaga kesopanan. Senyuman yang tadinya tidak lepas dari bibir pria itu kini menghilang entah kemana. Terlihat sekali jika ia sedang berusaha menutupi kecanggungannya.

“Hai, Zia.” Ia menampakkan senyumnya lagi. “Apa aku mengganggu?”

Aku menelan kunyahan apel dalam mulutku, “Tidak juga.” Kataku datar lalu kembali menggigit apelku.

“Ehm, aku Luke. Lucas Bentley. Pasti kau sudah tahu, tapi tak apalah.” Katanya percaya diri, seraya tersenyum semanis permen kapas.

Kedua alisku bertaut. Bibirku yang tengah asik menikmati apel, satu sisinya terangkat. Lucu sekali dia. Memangnya dia pikir dia siapa? Apa dia seterkenal itu di sekolah ini?

“Ya, aku sudah tahu.” kataku sekenanya. “Beberapa detik yang lalu.”

Ia terkekeh-kekeh malu seraya mengusap tengkuknya. “Kalau begitu tak ada salahnya jika kita berkenalan secara formal.” Tidak lama kemudian ia menjulurkan tangan. “Lucas Matthew Bentley.”

Aku melirik tangannya sekilas, lalu meletakkan apelku yang sudah hampir habis ke atas baki dihadapanku—sepertinya aku takkan memakannya lagi. Aku menjabat tangannya yang besar, sehingga tanganku tenggelam didalam genggamannya. “Aku rasa kau sudah tahu namaku.”

“Aku rasa juga begitu.” ia melepas tangannya seraya tersenyum manis. Gosh, senyuman itu seakan menghipnotis. Namun aku berusaha untuk tetap tenang, dan terlihat normal. Hanya menanggapi ucapannya dengan anggukan pelan.

“Sendirian saja?”

The fuck? Basa-basi macam apa itu.

“Kelihatannya bagaimana?” aku menyeruput jus jeruk yang tinggal seperempat gelas hingga habis.

Luke terlihat kembali canggung melihat responku yang sedari tadi dingin-dingin saja. Sejujurnya aku merasa kasihan, sikap ramahnya aku tanggapi sedemikian menyebalkan. Blah, peduli apa aku padanya. Meskipun baru tahu namanya hari ini, aku pernah melihatnya berkumpul bersama jajaran anak-anak populer. Untuk apa pria seperti Luke mendekatiku jika tidak ada maksud tertentu, bukankah itu sangat aneh? Aku mencium bau tidak wajar dari kedekatannya padaku. Entahlah, ia seperti menginginkan sesuatu dariku, namun aku belum tahu apa. Sepertinya aku harus waspada. Sangat jelas terlihat jika pria cassanova ini memiliki daya tarik yang kuat. Seperti medan magnet yang bisa menyeret para gadis untuk mendekat dengan begitu mudahnya. Aku sendiri tak tahu apa aku bisa menarik diriku menjauh, atau malah terjebak oleh pesonanya. Yang jelas aku sama sekali tidak boleh lengah.

Perfect FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang