Chapter 16 | Mad Rick's Cafe

167 10 2
                                    

“If they really hate him, so it’s my fuckin fault?”

 

Ducati putih Luke melesat kencang di jalanan yang dingin dan sepi, menuruni perbukitan seakan tanpa hambatan. Padahal, jalanan sangat gelap dan curam, seandainya kurang hati-hati, bisa saja kami berdua terlempar ke bawah sana. Tanganku yang berkeringat meremas jaket Luke sangat erat, dengan mata terpejam takut. Aku suka mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, beda halnya jika yang mengendalikan motornya bukan aku. Seperti hidup dan mati di tangan orang lain, dan itu menakutkan bukan? Bagaimanapun Luke meyakinkan—dengan cara mengusap-usapkan telapak tangan kirinya pada tanganku—jika kami akan tiba di tempat tujuan dengan selamat, jantungku tidak bisa di ajak berkompromi. Berdetak semakin cepat tak terkendali. Baru setelah Mad Rick’s tinggal beberapa meter di depan, jantungku merasa lega. Tadi itu sangat gila. Tapi aku menyukainya.

“Sepertinya mereka sudah di dalam.” Kataku, seraya merapikan kaos dan jaket. Setelah meletakkan helm di atas jok, Luke turun dari motornya lalu menyisir rambut dengan jemarinya. Melihatku memperhatikannya, ia tercengir.

“Ayo.” Katanya sembari menggenggam tanganku. “Aku sudah tidak sabar ingin melihat kekasihku tampil.” Lanjutnya sambil tersenyum separuh.

Aku tidak bisa menahan senyumku. Kekasihku. Kata-kata itu menggema di dalam otakku. Namun merasa kesal karena ia tidak kunjung mengerti jika aku tidak begitu suka caranya terlalu menunjukkan kemesraan di depan orang banyak, aku menarik tangan dari genggamannya lalu bercanda dengan memukul lengannya.

“Hey! Kenapa kau malah memukulku?” Tanyanya dengan alis berkerut.

“Tidak apa-apa. Kita tidak sedang menyebrang jalan bukan? Kenapa harus berpegangan tangan?” Kataku sambil berjalan mendahuluinya. Kudengar ia terkekeh di belakang sana.

“Hey, tunggu.”

***

“Kenapa kau lama sekali?” Protes Cory.

“Kemana saja kau?” Tambah Michie.

“Maaf aku lupa. Aku bersama Luke sejak sepulang sekolah.” Kataku sambil menggaruk belakang tengkukku. Merasa gatal dengan plester penutup luka sialan itu, aku membukanya lalu melemparnya sembarang ke lantai, terinjak oleh gadis yang lewat dan terbawa hingga jauh, menempel di bawah heel sepatunya. Aku tertawa kecil melihat peristiwa tadi. Deheman Will membuatku memalingkan wajah padanya. Melihat dari ekspresi wajahnya yang serius, aku yakin ia jengah atas kedatanganku yang terlambat.

“Setidaknya kabari aku atau yang lain. Satu pesan singkat kurasa cukup. Jangan membuat kami kebingungan, Zee.” Aku bahkan lupa mengabari Will dan yang lain. Saat bersama Luke, semua perhatianku tertuju padanya, seakan tak ada hal lain yang perlu di pikirkan lagi selain dirinya.

“Maaf, aku benar-benar lupa. Lain kali ingatkan aku.” Kataku sambil melepas dua plester penutup luka di lengan kiri, tidak membuat kontak mata dengan lawan bicaraku.

“Tidak akan lupa jika kau memang berniat untuk datang. Lagipula aku mengingatkanmu tiga puluh menit yang lalu bukan?” Cecar Max, terlihat jengkel. “Apa jadinya jika aku tidak menelfonmu? Haruskah kami mencari vokalis yang baru? Manajer kafe ini sudah membayar kita, kau tahu. Dimana rasa tanggung jawabmu?” Aku mendengus, sembari melempar plester sialan itu ke lantai.

Calm your tits off, dude. Jangan membuat hal kecil menjadi besar. Lupa itu hal yang manusiawi, bukan? Seperti kau tidak pernah lupa saja.” Balasku dengan tatapan tajam, melipat tangan di depan dada, menaikkan satu sudut bibirku menjadi sebuah senyuman mencemooh. Max terlihat begitu kesal tapi ia berusaha menahan diri.

Perfect FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang