Chapter 19 | Fool Fight

146 7 2
                                    

“Mind your own damn business before meddling with mine.”

Perlakuan manis Rory selalu mengejutkanku. Mendapat pelukan seorang sahabat di saat seperti ini, rasanya tidak dapat dideskripsikan dengan kata-kata. Tak bisa digambarkan betapa ... bahagia rasanya. Entah bagaimana caranya, aku merasa lebih kuat dan tegar dari sebelumnya. Jadi inilah situasi dimana ‘sahabat bisa saling menguatkan’ seperti yang orang-orang selalu katakan.

“Aku minta maaf, Rory.” Bisikku, membenamkan hidung kedalam helaian rambut merah Rory yang berbau vanila segar.

Rory melepas pelukan, mundur beberapa langkah dan menatapku dengan tatapan seolah-olah baru saja mendengar candaan.

“Bodoh, untuk apa meminta maaf?” Bibirnya menyunggingkan senyum separuh.

“Tadinya aku pikir setelah melihat tatoku kau akan, entahlah, mungkin marah atau kecewa. Meski lega karena kau tidak bereaksi seperti dugaanku, aku benci mendapat simpati. Kau tahu, aku paling tidak suka di kasihani.” Ujarku panjang lebar.

“Baiklah. Pertama, mengapa kau berpikir aku akan merasa kecewa?”

“Aku kira, kau akan benci melihat diriku yang sekarang. Aku yang sangat jauh berbeda dari yang dulu pernah kau kenal.” Aku terduduk di tepian tempat tidurku, menutup bra hitamku dengan memakai kaos hitam polos yang sedari tadi menganggur di dalam genggaman.

Rory ikut terduduk di sampingku. Aku sibuk mengamati kuku jari tangan kananku yang di cat hitam mengkilap.

“Zia, aku mengerti. Meski aku tidak berada di sisimu saat kau melewati semua itu, aku paham bagaimana perasaanmu. Pasti sulit untuk menerima semuanya. Jika segala yang telah kau lalui membuat perubahan dalam dirimu, itu wajar. Itu hal yang manusiawi. Aku lebih senang melihatmu menjadi gadis punk gila,” setiap kali Rory mengucapkan ‘nama julukan’ itu aku tidak bisa menahan diri untuk terkekeh. “yang tegar daripada menjadi gadis cengeng yang rapuh. Dan asal kau tahu, aku menerima apapun perubahan yang terjadi padamu, sebagaimana kau selalu menerima diriku apa adanya. Jangan sebut aku sahabatmu jika aku bukanlah orang yang bisa memahamimu.”

Sejujurnya, ucapan Rory itu sangat manis dan membuatku sedikit terharu. Namun melihat ia seperti masih ingin melanjutkan perkataannya, aku hanya merespon dengan sebuah senyuman.

“Kedua, aku memang marah—well, sedikit. Orang macam apa yang tidak marah saat mengetahui sahabatnya suka menyakiti diri sendiri dengan membuat tato-tato bodoh di sekujur tubuhnya?”

“Hey! Apanya yang bodoh? Setiap tato punya makna tersediri tahu!” Ujarku mendengus, lalu memajukan bibir. “Lagipula, ini tidak sakit. Sama sekali tidak.” Aku mengangkat bahu acuh tak acuh.

“Dasar gila.” Rory memutarkan mata dramatis.

“Biarkan saja.” balasku dengan juluran lidah.

“Dan yang ketiga, bersimpati tidak selalu berarti mengasihani. Aku simpati karena aku peduli padamu. Lagipula, jika aku tidak bersimpati padamu, itu tandanya aku tidak menyayangimu, bodoh!” Rory mencubit pipiku dengan gemas dan menariknya agak kencang.

“Hey, berhenti memanggilku bodoh!” kataku dengan wajah merenggut, mengusap-usap pipiku yang sepertinya memerah.

“Ya, ya, terserah.” Ujar Rory melipat tangan di depan dada, berpura-pura terlihat tidak peduli.

Entah dorongan dari mana, aku memeluk Rory dengan sangat erat dalam satu kali gerakan.

“Kau sahabat terbaikku di dunia, camkan itu.” Bisikku di dekat telinganya. Rory membalas pelukan dengan cara menepuk-nepuk telapak tangannya pada punggungku.

Perfect FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang