Dua

227 18 2
                                    


(3)

"Tadi Sylvia dateng nyariin kamu."

Siv itu pacarku. Aku menoleh Bunda dengan tatapan bertanya.

"Dia bawain kamu empek-empek, katanya sih bikinan sendiri," terang Bunda.

"Ditaro mana, Bun? Empek-empek buatan Siv enak banget," kataku antusias mengobrak-abrik isi dapur.

"Ah, kamu, kalo denger makanan enak aja, langsung beringas kayak singa gak dikasih makan satu bulan." Bunda tertawa.

Aku membawa piring berisi empek-empek dan duduk di depan Bunda. Bunda mengamatiku menyikat habis isi piringku dalam hitungan menit. "Makannya pelan-pelan, nanti kamu tersedak, Bunda yang repot."

Aku menyeringai. "Ayah gak balik ya, Bun?"

Biasanya Ayah selalu menyempatkan diri untuk pulang dan makan siang bareng Bunda. Maksudku, penthouse kami kan hanya satu lantai di atas ruang kantornya.

Bunda menggeleng. "Ayah lagi ada meeting sama Duke Pernong." Melihat ekspresiku yang mendadak tegang, Bunda cepat-cepat menambahkan, "Urusan kerjaan."

Aku tersenyum miring. "Dokter Nababan diundang sekalian?"

Sama sepertiku, putra kedua Duke Pernong juga menderita sindrom Immortal. Dokter Nababan ilmuwan paling tersohor di bidang ini. Mereka bilang terobosan yang dia lakukan adalah yang terdepan. Menurutku itu omong kosong. Dia tidak bisa menolongku. Tidak ada yang bisa. Aku sudah tidak tertolong lagi. Sesederhana itu.

"Agra!" Bunda terlihat gusar.

"Bunda gak mau berpikir ulang soal permintaanku?"

"Cukup. Bunda gak mau bahas itu lagi sama kamu!"

"Tapi Agra udah capek, Bun!" keluhku merana.

Seperti biasa, kata-kataku membuat Bunda menangis. Dia selalu bercucuran air mata jika aku mengangkat topik ini, soal permintaanku untuk mati. Bunda selalu menolak. Begitu pula Ayah. Dan Dokter Nababan. Mereka berkonspirasi menahan hidupku!

"Agra.. Agra.. " Bunda berujar pedih sambil membelai-belai rambutku. Aku diam saja meskipun dalam hati protes karena Bunda membuat poniku yang keren menjadi rusak. "Kamu mending telepon Sylvia, dia khawatir sama kamu."

"Nanti Agra telepon," janjiku. "Tapi sebelum itu.. " Aku meragu.

Jariku mengetuk-ngetuk meja makan. Gelisah. Aku kembali teringat pada bocah SMA tadi pagi. Ingin kubahas soal itu sama Bunda, tapi tidak yakin harus mulai darimana.

"Ada yang mau Agra tanya sama Bunda," kataku hati-hati.

"Kamu mau tanya apa?" Kening Bunda berkerut saat membalas tatapanku.

"Apa Bunda bakal marah kalo Ayah poligami dan punya anak lagi?"

Bunda melotot. "Ayah kamu gak bakal poligami," jawab Bunda yakin.

"Tapi gimana kalo misalnya itu terjadi?" Aku berkeras.

Bunda menghela napas.

"Itu gak mungkin, Agra.. karena setelah kamu didiagnosa waktu itu.. " Bunda terdiam.

"Bunda ngebahas soal itu sama Ayah.. kamu harus ngerti, Agra. Ayah kamu butuh seseorang untuk mewarisi nama keluarga. Dia gak bakal bisa menatap wajah para leluhur kalo garis keturunan Guntara terhenti di tangannya.. "

"Terhenti di tanganku," aku meralat.

Bunda tersenyum lemah. Tangannya membelai dahiku.

"Ayah kamu menolak mengambil istri kedua." Ucapan Bunda di luar dugaan. "Kalau memang terpaksa, selalu ada opsi adopsi. Tapi sekarang lebih baik kita tidak membicarakan ini. Karena Bunda yakin kita semua bisa melewatinya."

1001 Samsara: Jiwa AbadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang