Delapan

60 8 0
                                    


(18)

Tanpa terasa, Kamis kembali tiba.

Seminggu ini daftar memori-tidak-terlupakanku bertambah panjang. Hal yang patut dirayakan, karena biasanya aku kelewat sering meratapi nasib hingga sulit menikmati hidup.

Aku banyak melewatkan waktu dengan kencan bertiga bareng Siv dan Cori. Ehem, maksudku, aku kencan dengan Siv, sementara Cori merecoki kami dengan tingkahnya yang ajaib. Untung saja kami tidak sampai melakukan threesome!

Tidak kok. Aku dan Siv masih tahu batas. Sedangkan Cori. Dia itu kan cowok. Aku sama sekali mencoret kemungkinan itu, melakukan hal-hal tidak wajar apapun bersamanya. Sekali lagi kutegaskan. Aku bukan homo, oke? Kalau kalian menganggap ini sebagai denial, itu urusan kalian.

Aku sayang sama Cori karena mukanya mirip denganku. Dia seperti adikku sendiri. Dan aku bukan Narkissos, si pemburu narsis dari Yunani. Aku bukan tipe cowok yang bisa jatuh cinta pada diri sendiri, betapa pun gantengnya aku.

Intinya aku bukan homo.

"Gugup?"

Itu suara Ayah. Setelah kondisiku memburuk minggu lalu, Dokter Nababan berhasil meyakinkan Ayah untuk memasangkan semua alat penunjang kehidupan ini di tubuhku. Aku seperti mumi, tapi alih-alih dibungkus kain, tubuhku terlilit bermeter-meter kabel dan selang dan entah apa lagi. Pasti aku terlihat konyol.

Padahal tubuhku tidak sakit apa-apa. Cuma otakku saja sedikit konslet dan mengkhayalkan rasa sakit yang sebenarnya tidak ada. Mungkin ini lah yang dirasakan Cori. Terjebak dalam ilusi yang diciptakannya sendiri.

"Siapa yang gak gugup kalo jadi pusat perhatian selusin orang berjas putih di kamar sekecil ini? Aku ngerasa kayak tikus lab!" protesku sengit.

Bunda tersenyum sambil mengusap kepalaku.

"Kan kamu sendiri yang tadi gak mau pindah ke Royal Suite," Bunda mengingatkan. "Sekarang kamu malah ngeluh kamarnya terlalu sempit!"

"Agra cuma gak mau berlebihan kayak gini, Bun!" Aku kembali protes. "Emang perlu ya sampe ditemenin dokter segini banyak? Mereka mau ngecek kondisi Agra apa mau maen bola?"

Siv cekikikan di sebelahku. Aku memelototinya dan cemberut.

"Ish, kok manyun sih, entar gantengnya luntur loh," Siv malah menggodaku.

Wajah Siv tampak berseri-seri. Sikapnya optimis. Korban kebohongan orang tuaku. Ini pertama kalinya aku mengijinkan Siv menemaniku saat aku mendapat serangan. Awalnya dia panik saat melihat semua kabel yang melilit tubuhku. Matanya langsung berkaca-kaca.

Tapi Bunda berhasil membuatnya tenang. Bunda cerita soal terobosan baru Dokter Nababan yang melibatkan selang dan kabel yang kini menempeli kulitku. Dari cara Bunda cerita, seolah selang dan kabel ini adalah mukjizat yang turun dari langit.

Aku tahu faktanya tidak seindah ilusi yang tadi diceritakan Bunda. Tapi aku memilih diam. Aku tak ingin membuat Siv bersedih karena kondisiku.

"Cori mana?"

Aku bertanya bukan karena aku kangen padanya. Aku cuma merasa aneh karena tidak mendengar ocehan sintingnya.

"Cori lagi gak fit. Dia di rumah sama keluarganya," Ayah menjawab kalem.

Kelewat kalem malah. Aku jadi curiga. Dan sedikit cemas. Sejak terakhir kami nonton Avatar di bioskop, tingkah Cori jadi semakin aneh. Dia sering kehilangan fokus dan terlihat linglung, juga beberapa kali seperti lupa pada dirinya sendiri.

Gimana kalau bocah itu menyakiti diri sendiri karena bisikan gila dalam kepalanya? Hadeh. Kenapa jadi aku yang khawatir? Kan terbalik. Harusnya aku lah yang perlu dicemaskan! Yang sekarat kan aku, ingat?

"Dia baik-baik aja kan?"

Bunda tertawa. "Kamu kangen ya sama Cori? Biasanya kalo dia ada juga, kamu selalu marah-marah. Giliran gak ada, malah dicariin."

"Sapa juga yang kangen? Bunda jangan ngaco ah!"

Siv ikut terkekeh. "Agra sayang banget sama Cori, tapi dia gak pernah mau ngaku. Kalo di depan Cori selalu pura-pura ketus."

Aku pura-pura muntah.


(19)

Kondisiku semakin buruk. Lebih buruk dibanding sebelumnya. Jauh lebih buruk! Kalau kalian tidak sadar, ada lima kata buruk dalam paragraf ini. Itu membuktikan betapa buruk suasana hatiku. Dan tolong. Tak perlu kalian hitung, oke!

Kali ini aku nyaris koma selama dua hari. Aku tidak mengetahuinya dari Ayah atau pun Bunda. Aku sadar karena mengecek kalender di hapeku.

Saat aku membuka mata, hal pertama yang kudapati adalah wajah kedua orang tuaku yang terlihat lega. Ayah tampak lelah dan lupa bercukur. Bunda seolah menua dengan lingkaran hitam di bawah kantung matanya. Jauh dari imejnya selama ini sebagai Nyonya Guntara, ibu-ibu sosialita yang hobi arisan dan bergosip. Aku tidak yakin apa itu berita baik atau buruk. Bunda jadi lebih down to earth.

"Jagoan Ayah akhirnya bangun juga," Ayah tersenyum dan mengacak rambutku.

Aku balas tersenyum. Kedua orang tuaku mencoba bersikap tegar. Jadi aku harus mengikuti akting mereka. Tidak boleh terlihat lemah. Aku tak ingin membuat mereka lebih sedih lagi. Kondisiku sudah separah itu.

Aku menengok sana-sini, mencari Siv.

"Siv udah pulang. Dia juga butuh istirahat."

Seperti bisa menebak, Bunda menjawab tanpa perlu kutanya.

Aku mengangguk datar. Aku tahu Bunda bohong. Siv sengaja disingkirkan. Karena dia tidak setegar Ayah dan Bunda. Siv tidak pandai bohong. Dia tidak ahli menyimpan emosi untuk dirinya sendiri. Keberadaan Siv hanya akan merusak sandiwara yang tengah kami jalani. Dia cuma akan menegaskan kecurigaanku selama ini.

Aku tahu kok. Semenjak Dokter Nababan memanggil Bunda minggu lalu, ada yang aneh dari cara kedua orang tuaku bersikap. Mereka berubah. Aku bisa merasakannya. Ayah dan Bunda mencoba menutup-nutupi sesuatu.

Aku tidak tahu berapa lama lagi waktuku tersisa. Tapi aku tidak mau bertanya. Aku tidak sanggup menanyakan itu pada mereka.

Kami bertiga terdiam. Canggung. Aku tidak tahu harus berkata apa. Sepertinya Ayah dan Bunda pun sama. Mereka bingung mau komentar gimana.

Lalu seseorang membuka pintu kamarku dengan penuh semangat hingga engselnya berteriak. Kami menoleh serentak.

"Scipio, gue kangen sama loe!"

Cori. Dengan suara tenornya yang jernih, tatapan matanya yang sedikit gila, dan sikapnya yang kekanakan.

"Loe kemana aja, bocah sinting?"

Cori mencium tangan Ayah dan Bunda, lalu duduk di sebelahku. Kaus putihnya ternoda hitam. Dia mengacak-acak isi ranselku.

"Woy, ditanya malah diem aja! Terus ngapain loe obrak-abrik tas orang?"

"Gue pinjem baju loe, Scipio." Cori mengibarkan bajuku seperti bendera.

Gila! Bocah sinting satu ini, dateng-dateng langsung maen rampok baju orang aja!

"Emang punya loe kenapa?"

"Basah. Ketumpahan kopi. Tadi gue bantuin nenek-nenek di sektor Taurus. Dia gak liat ada kopi di meja, tapi gue gak marah kok."

Aku rada bingung mendengar penjelasan Cori, jadi tidak kubahas lebih lanjut. Malah Ayah yang menegur bocah itu.

"Kamu kok gak sama keluarga kamu, Cori?"

"Aku bosen sama mereka. Lagian aku kangen Scipio."

Ayah memijat pangkal hidungnya, terlihat pusing. "Tapi.. "

"Maap, Yah. Cori udah gatel-gatel, mau cepet ganti baju, entar aja ceritanya, oke?"

Ayah mendesah. "Ya, udah, sana kamu cepetan ganti."

"Beres, Yah." Cori menghilang ke kamar mandi.

Aku mengerang dalam hati. Kelakuan mereka tadi persis seperti ayah dan anak betulan! Kurasa Ayah benar-benar akan mengadopsi Cori.

1001 Samsara: Jiwa AbadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang