Tiga Belas

60 8 0
                                    


(29)

Aku terbangun setelah koma empat hari. Sama seperti minggu lalu.

Tidak seperti dugaanku - dugaan kami semua - aku berhasil melewati serangan keempat ratus empat puluh empat dalam hidupku tanpa insiden apapun. Malah aku merasa jauh lebih bugar dari biasanya. Jauh lebih sehat. Pikiranku pun terasa lebih jernih.

Awalnya aku tidak menyadari perubahan ini.

Seminggu berlalu dan hari Kamis yang lain tiba. Kami sudah bersiap di rumah sakit. Aku kembali menjadi mumi dan terbungkus kabel. Kedua orang tuaku menekuk wajah - bahkan mereka tidak sanggup lagi berpura-pura tegar - seolah sedang menghadiri pemakaman putra mereka semata wayang.

Tapi kalian tahu? Keajaiban benar-benar terjadi. Aku tak pernah mengalami serangan keempat ratus empat puluh lima dalam hidupku.

Perasaanku kacau balau. Apa semua ini benar-benar telah berakhir? Saat ini aku tidak tahu jawabannya. Tapi aku mencoba tetap optimis dan bersukur. Aku diminta kembali bersabar dan tidak meninggalkan rumah sakit.

Berita baik lainnya adalah akhirnya Bunda mengijinkan Siv datang menjenguk. Cewek itu selalu hadir mendampingiku. Tidak sendirian. Karena Minerva selalu ikut bersamanya.

"Dunia itu sempit ya, Agra. Ternyata loe pacarnya Sylvia."

Itu komentar Minerva saat kami bertemu lagi setelah insiden kaburnya Cori entah berapa minggu lalu.

Omong-omong soal Cori, kudengar dari Ayah, bocah itu masih di Sudvictorie. Tim gabungan kesulitan mencapai pusat kota yang menjadi lokasi inti Gaia karena badai es terus menyapu serpihan puing-puing dan membuat keseluruhan operasi menjadi lebih sulit.

Sejujurnya aku mencemaskan Cori, tapi kami tak bisa meneleponnya sebelum mereka berhasil menghidupkan kembali saluran komunikasi dari dan menuju Sudvictorie.

Aku tidak sabar cerita pada Cori soal kondisiku yang kini membaik.


(30)

Mungkin kah ini sebuah firasat?

Pagi itu aku duduk melamun sendirian di depan Air Mancur Keabadian. Dua bulan telah berlalu sejak aku kembali sehat. Sejak Cori pergi dari Oosthaven dan berjuang untuk kotanya.

Aku merenung. Mendesah karena rasa kangenku padanya.

Terkadang aku teringat kembali mimpi yang kualami saat aku koma. Pada ratusan peti mati dengan tulisan Immortal di dasar bumi. Itu mimpi yang absurd. Mungkin aku terlalu banyak bergaul dengan Cori dan terpengaruh pola pikirnya.

Tapi jujur saja, kadang aku merasa Cori tidak gila. Mungkin aku lah yang selama ini hidup dalam dunia ilusi. Aku melihat ke balik samsara, tapi terlalu takut mengakuinya. Entah lah. Kupikir aku belum segila itu.

"Aku tahu kamu pasti lagi bengong di sini."

Aku menoleh dan mendapati Siv tersenyum sedih padaku. Matanya merah dan sembab, seolah habis menangis.

"Hei, sweetheart, kenapa?"

Aku berdiri dan memeluknya.

Siv merentangkan tangan dan mengusap-usap punggungku. Dia mencium pipiku lalu menepuk poniku yang naik ke atas.

"Minerva mau ngomong sama kamu," ucapnya lirih.

Aku melirik ke belakang Siv dan mendapati Minerva berdiri sambil melamun. Cewek ningrat itu terlihat lecek dan berantakan. Ibarat gaun putri salju yang lupa disetrika.

1001 Samsara: Jiwa AbadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang