Enam

56 10 0
                                    


(14)

Kondisiku memburuk.

Aku tahu ini sangat parah karena sehari setelah serangan aku masih belum bisa bangun dari tempat tidur. Seolah api kehidupan dalam tubuhku merembes keluar. Ini baru pertama kali terjadi. Karena seperti yang dibilang Dokter Nababan, sindrom Immortal hanya menyerang pikiran. Seharusnya tubuhku baik-baik saja.

Hebat. Penyakit keparat ini berhasil mencuri satu lagi hariku!

"Agra, ini Bunda buatin kamu cheese tart panggang ala Noordgluck kesukaan kamu." Bunda berusaha menyogok dengan tart buatannya supaya aku berhenti bermuram durja. Itu tidak berhasil karena lagi-lagi masakan Bunda sedikit gosong.

"Mereka mengimpor resep kue dari Noordgluck ke Oosthaven, menurutku itu konyol."

Itu suara Cori. Tentu saja. Cuma dia yang bisa berkomentar tidak nyambung begitu. Dia kan sinting.

"Tapi kalian gak punya lagu-lagu Sudvictorie di sini, atau drama-drama fenomenal Westrietje. Dari semua hal menarik yang bisa ditawarkan tiga kota musim panas lain, Oosthaven lebih memilih resep kue dibanding buah peradaban yang lebih berbobot! Ya, ampun. Ini benar-benar sebuah tragedi!"

"Loe mau tau tragedi yang lebih parah? Kenapa gue harus dengerin ocehan loe yang ngaco ini!"

Bunda tertawa di sebelahku. Dia sudah terbiasa melihatku adu mulut dengan Cori. Bahkan aku curiga menurut Bunda 'pertengkaran-antar-saudara' kami sangat manis.

"Menurut gue Scipio, loe terlalu banyak mengeluh!"

Aku memutar mata, lalu menoleh Bunda.

"Kenapa sih Bunda gak ngelarang dia masuk? Bunda sengaja kan bikin aku darah tinggi? Lagian ini kan Jumat, kenapa dia gak sekolah?"

Bunda terlonjak. Sepertinya Bunda baru ingat Cori masih SMA dan jadwal sekolahnya jelas dari Senin sampai Jumat.

"Cori, kok kamu gak sekolah, Nak?"

"Aku bolos, Bun," jawab Cori enteng, minta digeplak.

"Cori! Ayo Bunda anterin kamu sekolah. Nanti kamu dicariin guru-guru kamu. Gimana kalo mereka lapor sama keluarga kamu? Terus kamu dihukum."

"Aku mau nemenin, Scipio. Lagian gak bakal ada yang nyari juga," Cori berkeras.

Bunda terus membujuk, dan Cori terus mengelak. Akhirnya Bunda kalah. Bocah itu emang mengerikan! Bunda saja bisa kalah berdebat. Padahal emak-emak adalah raja. Itu fakta yang sulit dipatahkan.

"Bunda gak pergi arisan?" tanyaku.

"Mana mungkin Bunda ninggalin kamu sendiri di rumah sakit."

"Tapi kan ada Cori?"

Bunda ragu-ragu. Terkadang insting sosialita yang mengalir di tubuhnya lebih besar dari rasa sayangnya untukku.

"Aku gak papa kok," aku meyakinkan.

"Bunda mau nemenin kamu aja. Arisan itu penting, tapi anak Bunda lebih penting lagi."

Oke, kali ini insting keibuannya menang.


(15)

Nyatanya Bunda tidak bisa menemaniku. Dokter Nababan mengecek kondisiku jam sepuluh tadi, memencet-mencet dada dan perutku dengan stetoskop di telinga, mengecek tekanan darahku, dan membuat mataku pedih karena senternya, lalu menyeret Bunda keluar, entah kemana, mungkin ke ruang kerjanya.

Aku kembali berduaan dengan Cori di satu ruangan. Aku gelisah. Ini bukan firasat bagus. Aku tahu dia pasti bakal menyiksaku lagi.

"Sisa waktu kita tinggal tiga minggu."

1001 Samsara: Jiwa AbadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang