Epilog

100 9 0
                                    


Aku menikah dengan Siv dan punya dua orang anak. Saat Cori junior berusia lima tahun, kami ikut pindah bersama ratusan ribu warga dari tiga kota lain ke Sudvictorie. Keluarga Guntara mewarisi posisi Cori sebagai First Duke. Cori menuliskan itu dalam surat wasiatnya. Tidak ada yang protes karena ternyata keluargaku adalah pecahan keluarga Sanjaya yang merantau ke Oosthaven berabad lalu.

Kami mempunyai nenek moyang yang sama. Aku dan Cori. Kakek dari kakek dari kakek dari kakek kami ternyata saudara satu ayah. Mungkin itu lah alasan kemiripan kami. Dan ternyata Ayah sudah lama tahu. Saat pertama kali melihat Cori, Ayah langsung menghubungi Marquis Fenrir untuk memastikan dugaannya.

"Kamu terlihat anggun," aku memuji putriku.

"Dia keliatan kayak topeng monyet! Aku heran deh kenapa Kak Aliqa dandan seheboh itu buat cowok drama dari Westrietje."

"Corilus Deva Guntara! Bisa gak hormat dikit sama kakak kamu ini!" Aliqa menjerit kesal dan mengejar adiknya.

Cori junior memeletkan lidah dengan wajah usil. Bocah sebelas tahun itu suka sekali menjahili kakak perempuannya yang enam tahun lebih tua.

"Liqa, ngapain kamu baper sama adek kamu? Kamu tau kan Cori itu makin jadi tingkahnya kalo diladenin," kataku sambil tertawa.

Aku menangkap tangan putriku. Aliqa berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Siv yang pencemas. Dari kecil dia tumbuh sebagai cewek tomboi pemberani. Sabuk hitam karate dan taekwondo sekaligus. Aku heran darimana dia mendapat gen tukang berantem.

"Ayah selalu belain Cori! Dari dulu Ayah gak pernah adil sama aku!" Aliqa cemberut.

Cori junior terkekeh sambil bersembunyi di balik punggungku. Kadang aku bersumpah sikap gila anak ini meniru tingkah cowok sinting yang menjadi cikal bakal namanya. Orang bilang nama itu doa, iya kan? Aku cuma bisa pasrah.

"Udah ah Aliqa, kalo Cori punya Ayah, kamu kan punya Bunda," Siv mencoba jadi penengah. "Kamu inget kan, Bunda selalu ngasih kamu camilan lebih banyak dari Cori."

"Itu karena dia hiperaktif dan gak boleh kebanyakan gula," Aliqa menuduh.

Aku terbahak. Baik Siv maupun Aliqa memelototiku.

"Ayo berangkat, berangkat! Entar kita telat. Hari ini kan kamu bakal tampil di pentas sekolah. Ayah bangga sama kamu!" Aku mengalihkan isu.

Aliqa masih cemberut dan aku menepuk kepalanya yang disanggul seperti putri dari negeri dongeng.

Di perjalanan menuju sekolah, aku melirik Aliqa dari balik spion. Cewek itu senyum-senyum sendiri seperti orang gila. Jangan bilang dia beneran lagi jatuh cinta?

"Ayah denger kamu lagi deket sama lawan maen kamu buat pementasan nanti?" selidikku hati-hati.

"Kata siapa?" tukas Aliqa sebal.

"Kataku lah, emang sapa lagi?" Cori menimpali.

Aliqa menjitaki kepala adiknya. "Nih makan, dasar kunyuk tukang ngadu!"

"Bun, Kak Aliqa nyumpahin aku! Potong aja tuh uang jajannya!"

"Dari Hongkong!" Aliqa semakin sewot.

Aku berdehem tegas. Meskipun aku suka memanjakan mereka, tapi kedua anakku tahu kapan waktunya aku marah dan mereka harus tutup mulut.

"Cori, kalo kamu masih gangguin kakakmu, Ayah bakal ngambil fasilitas kamu sebulan. Gak ada hape, komputer sama konsol game!"

Bocah itu bergidik ngeri.

"Kak, maapin Cori. Kata Bunda, dendam itu gak baek loh." Cori menyodorkan tangan dengan suara semanis madu. "Lagian aku kan adek kakak satu-satunya, emang kakak gak sayang apa sama aku?"

1001 Samsara: Jiwa AbadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang