Bel istirahat berdenting dan semua murid berhamburan keluar kelas demi mengisi perut kosong mereka. Mengobrol dan bercanda tawa dengan teman sembari berjalan menuju kantin.
Namun satu gadis yang duduk di pojokan kelas dekat pintu itu tidak beranjak dari tempatnya. Tangannya sibuk membalik sebuah buku yang ada di genggamannya sementara matanya membaca rinci setiap kalimat yang tertera di buku tersebut.
Ia sudah biasa, menghabiskan waktu istirahatnya sendiri bersama buku. Dia tidak memiliki teman, itulah alasannya. Bukan, bukan karena dia benci bergaul dengan teman sebayanya. Namun karena tidak ada orang yang bersedia menjadi temannya.
Mereka menyebutnya si babi sang kutu buku. Terdengar kasar memang, namun dia sudah biasa mendengar hal itu. Sudah lama dia diperlakukan seperti ini. Bahkan sejak di sekolah dasar. Tubuh besar dan wajah tembamnya selalu menjadi bahan cibiran bagi teman-temannya.
Getaran yang berasal dari ponselnya yang ada di atas meja membuat perhatiannya teralih. Sebuah pengingat untuk mengembalikan buku yang dipinjamnya sepekan lalu membuatnya terlonjak. Ia hampir melupakan hal itu.
Dengan terburu ia menaruh ponselnya di kantong jasnya lalu mengambil buku dari dalam tasnya. Ia harus mengembalikan buku itu sekarang atau jika tidak ia harus membayar denda.
.
Sudah menjadi kebiasaan para siswa yang tidak pergi kekantin akan menongkrong memenuhi di sepanjang lorong. Dan ia terbiasa untuk menjadi bahan cibiran ketika ia melintas melewati mereka.
Sejujurnya jika ia bisa, ia ingin melewati jalan lain namun jalan menuju perpustakaan hanyalah melewati tempat itu dan dia tidak memiliki pilihan lain selain melintasi lorong jembatan yang menghubungkan gedung 1 yang berisikan ruang kelas dengan gedung 2 untuk ruang lain seperti perpustakaan dan ruang ekstrakulikuler lainnya.
"Lihatlah itu si babi."
"Dia selalu membawa buku bersamanya."
"Tentunya, dia tidak memiliki teman yang bisa diajak mengobrol. Mana mau orang berteman dengan gadis gendut sepertinya."
Bisikan demi bisikan itu terlontar dan ia semakin menenggelamkan kepalanya pada buku tebal yang ada di dadanya. Ia memang terbiasa mendengar kalimat gunjingan kasar itu dilontarkan padanya namun sesering dia mendengar kalimat itu, ia tidak bisa mengelak jika ia sakit hati mendengarnya.
Ia berusaha mempercepat langkahnya dan ia segera menyesali dirinya yang tidak melihat lurus kedepannya melainkan terus melihat kelantai karena pada menit berikutnya, ia telah jatuh menubruk seseorang hingga membuatnya jatuh terduduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
You
FanfictionWajah yang tidak cantik berikut tubuh besarnya menjadi alasan atas diskriminasi yang ada. Cacian adalah hal yang selalu diterimanya. Buku adalah satu-satunya temannya. Tidak pernah dalam hidupnya Jieun membayangkan dirinya untuk mengalami hal yang b...