CHAPTER TEN

168 14 0
                                    

Kelas sudah dimulai sejak satu setengah jam yang lalu. Keira berusaha fokus didalam kelas. Namun ia masih selalu terbayang suara Reynand. Suaranya seperti terus berdesir lembut seperti pasir putih yang terkena ombak. Hati Keira penuh kehangatan siang ini. Ia tak menyangka seseorang yang belum lama ia kenal bisa dengan cepat menyentuh hatinya.

"EHEM! Kei, tolong ya jangan kebanyakan mikirin Reynand terus. Bisa bahaya kalau lo baperan lagi."tegur Vania.

Keira tersenyum oleh teguran Vania. Memang ada benarnya. Bukankah dirinya terlalu cepat merasa menyukai seorang Reynand. Dalam sekali pertemuan tanpa sengaja ia langsung merasa ingin mempercayai Reynand sepenuhnya. Tetapi itu yang dikatakan hatinya. Walau mungkin berbahaya tapi dia ingin mencobanya.

"Masalahnya biarpun berbahaya, meskipun hari esok masih abu-abu.. Gue masih mau mencoba mempercayainya. Karena itu yang hati gue yakini."ujar Keira lirih.

"Susah sih. Tapi apa yang bisa seorang teman lakukan selain memperingati temannya agar tak jatuh pada lubang yang sama. Semuanya lo yang putuskan. Karena gue juga mau bisa mempercayai apa yang lo percayai."balas Vania. Keira menarik napas dalam. Ia kembali pada fokusnya dikelas.

"Pembagian kelompok untuk tugas akhir semester nanti bapak percayakan pada Vania. Vania, nanti kalau kamu mau mengatur kelompok tolong hubungi melalui video call, bagaimanapun saya mau mengawasi langsung."

"Baik pak."jawab Vania.

"Baik kalau begitu kelas saya bubarkan."ujar Pak Fahri yang langsung pergi keluar kelas.

Keira merapikan tasnya dan bersiap keluar kelas. Masih ada satu kelas lagi. Mungkin ini salah satu kelas yang ia tunggu karena hanya dikelas ini dapat memungkinkannya untuk bertemu dengan Reynand lagi.

"Gue ngerti lo nggak sabar buat ketemu Reynand lagi. Tapi sekali lagi gue mohon Kei.. Atur emosi lo. Jangan terlalu bersemangat juga. Kadang itu nggak baik buat kita."

"Tenang saja. Gue masih bisa control emosi kok. Yuk, temani keruang dosen. Kita harus panggil pak Yajidkan?"ujar Keira tersenyum.

"Benar. Yuk."ujar Vania yang langsung menggandeng Keira menuju ke ruang dosen dilantai dua.

Keira dan Vania sampai diruang dosen. Di saat yang sama Arlan baru keluar dari sana dan melihat kedatangan Keira. Ia menyadari juga keberadaan Arlan. Tetapi Keira lebih memilih diam tanpa menyapa Arlan dan langsung memasuki ruang dosen. Vania hanya memberikan senyum simpul. Arlan mencegah Vania untuk ikut masuk. Dia ingin bicara dengan Vania. Ada yang ingin ia pastikan.

"Keira kenapa? Apa dia segitu bencinya sama gue sekarang?"tanyanya.

"Gak, dia nggak benci sama lo. Perasaan lo aja kali. Dia cuma lagi bad mood mungkin atau apalah. Tapi yang jelas bukan karena lo."

"Bohong. Dia nggak pernah begini sama gue sebelumnya."

"Lo berarti nggak kenal dia. Gue mah udah biasa ngadepin dia yang kayak gini. Gue heran deh. Lagipula apa sih urusan lo sama dia? Inget bang, lo udah punya pacar. Gue sih ngerti kalau lo masih peduli sama dia karena pertemanan kita. Tapi jika memang karena ada alasan lain, lupakan saja. Dia sudah tidak nyaman sama lo lagi."ujar Vania.

Disaat yang sama Keira keluar bersama pak Yajid. "Ayo, kita kekelas. Permisi kak."ujar Keira yang langsung membawa Vania pergi. Keira membantu pak Yajid menyiapkan perlengkapan untuk perkuliahannya. Lalu ia kembali duduk dibarisan depan bersama ketiga temannya. Sementara tepat dibelakangnya Reynand sudah duduk diam. Pak Yajidpun memulai kelasnya siang itu.

***

Kelas pak Yajid berakhir ketika matahari sudah kembali keperaduannya. Sebagian teman-teman Keira terutama yang perempuan sudah memilih pulang duluan. Sementara baik Vania ataupun Diandra masing-masing pergi menemui pacarnya yang sudah menunggu di gedung pasca sarjana. Keira juga berjalan santai menuju parkiran. Dia tidak memiliki rencana apapun malam ini. Paling hanya memeriksa artikel dan tulisan untuk Verona. Ia jadi pusing begitu mengingat mereka belum dapat menemukan sosok yang sesuai untuk rubric utama kampus.

CLOSERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang