CHAPTER SIXTEEN

126 8 0
                                    

Keira tak pulang bersama panitia lain. Ia meminta Reynand untuk membawanya pergi ke tempat lain. Ia tak ingin pulang dulu. Tak mau orang rumah melihatnya dengan keadaan seperti ini. Pihak kampus telah memintanya untuk tutup mulut atas kejadian kemarin. Ia takkan sanggup jika harus menghadapi orang tuanya sekarang. Karena itu ia sudah bilang kepada orang tuanya lewat telepon, bahwa ia akan menginap di rumah teman.

Keira masih tertidur pulas dalam perjalanan. Reynand membelai rambut Keira yang terurai. Damai sekali wajahnya, yang tertidur nyaman begitu. Kesan Keira yang jutek itu hilang ketika tidur seperti ini. Reynand tersenyum melihatnya. Keheningan itu tak terusik dengan suara degupan jantung Reynand yang kencang. Ia tak menyangka, mereka sekarang sudah sedekat ini.

Reynand perlahan turun, membuka pintu disisi Keira perlahan dan membopong Keira. Ia membawanya ke lantai dua Heavens Door. Untung saja Keira ringan, berat badannya paling sekitar lima puluh kilogram. Begitu memasuki rumah, Reynand langsung meletakkan Keira di ranjang kamarnya. Biarlah malam ini Reynand tidur di sofa ruang tengah.

"Halo om Vandi."

"Halo, Rey. Ada apa?"

"Saya mau memberitahu Keira ada bersama saya. Sekarang dia sudah tidur."

"Dia memang bilang mau menginap di rumah temannya. Tidak saya sangka dia menginap di tempatmu."

"Mohon maaf. Tapi om tak perlu takut. Saya tidak akan berbuat macam-macam pada Keira."

"Iya saya tahu. Biarlah dia istirahat. Saya sudah bilang saya percayakan dia padamu."

Reynand mengangguk. "Terima kasih om. Besok saya akan mengantarnya pulang."

"Iya terserah kamu. Titip Keira. Selamat malam." tutup om Arvandi.

Reynand pun bersiap tidur. Tetapi di balik kamar, Keira mendengar samar pembicaraan Reynand diruang tengah.

***

Cahaya mentari masuk dari celah tirai yang masih tertutup. Keira bangkit dari tidurnya. Ia berusaha mengenali ruangan baru itu. Ia membuka gorden kamar itu. Keira menelusuri kamar itu. Dari yang ia lihat, ia dapat tahu ini adalah kamar utama. Dia tersenyum sendiri. Baru kali ini dia masuk di kamar lelaki selain kamar adiknya. Wallpaper abu-abu terang bermotif kubikel-kubikel, dengan furniture senada. Samar tercium aroma parfum yang biasa Reynand pakai dan Keira menyukainya.

Keira keluar dari kamar. Ia langsung disambut mural di dinding bertuliskan "The Best Never Rest" berwarna merah dan hitam dengan background warna putih. Tepat dibawah tulisan itu ada sofa bed berwarna biru muda. Masih ada selimut dan bantal disana. Semalam Reynand pasti tidur disana. Keira duduk disana. Sekali lagi ia bisa menghirup aroma Reynand yang tertinggal disana. Keira tersenyum kembali. Ia paham betul sekarang ia sudah jatuh hati pada lelaki ini. Sambil menghirup aromanya, Keira menutup mata dan membayangkan semua yang terjadi selama kemarin itu. Tanpa terasa Reynand selalu ada di moment-moment itu.

Suara ponsel Reynand membuyarkan lamunan Keira. Ponsel itu tergeletak begitu saja di meja. Keira mendengus kesal. Deringnya benar-benar membuyarkan lamunannya. Keira melihat layar ponsel, ia terkejut nama papanya terpampang di layar. dr. Arvandi. Reynand mendengar suara ponselnya. Ia bergegas lari dari dapur dibawah menuju ruang atas.

"Kei, kamu udah bangun?" sahut Reynand.

Keira langsung menoleh dan otomatis mengangguk. Reynand langsung mengambil ponselnya. Reynand langsung menjauh dari Keira. Ia langsung menjawab teleponnya. Keira memandang curiga Reynand yang menjauh darinya.

"Apa mungkin yang itu benar nama papa?" lirihnya. Keira berusaha acuh dan melupakan apa yang ia lihat barusan." Bukankah ada banyak nama yang seperti nama papa?"

Tak lama Reynand kembali. Ia berusaha menyembunyikan rasa paniknya.

"Semoga benar-benar tak ketahuan." Reynand membatin.

Reynand duduk disamping Keira dan Keira menggeser sedikit posisinya. Keduanya malah saling melempar senyum yang jelas terlihat kaku.

"Kenapa nggak bilang kalau udah bangun? Aku udah buat sarapan loh."

Keira hanya mengangguk dan mengikuti Reynand menuju ruang makan. Reynand jelas terlihat linglung. Kesalahan besar, mengapa ia tak membawa ponselnya saat memasak tadi.

"Rey, aku boleh tanya?"

"Boleh tapi kamu sarapan dulu."

"Rey, kafe ini punya kamu?"

Reynand hanya mengangguk. "Jadi, waktu ketemu disini. Kamu lagi kerja?"

"Ah, itu beda. Aku lagi ngerjain proposal skripsi ku."

Keira menyimak sambal melahap sarapannya. Terlintas dikepalanya, soal pengisi rubric utama. Dia tiba-tiba tersenyum lebar. "Aku menemukannya."

"Kalau kamu nggak keberatan. Boleh aku menjadikan profil kamu untuk rubrik utama Verona?"

Reynand tersedak. Reynand menatap Keira dengan ragu. Sementara mata Keira berbinar menunggu penuh harap.

"Kamu yakin?"

Keira mengangguk-angguk. "Deadlinenya minggu ini. Aku nggak punya cukup waktu buat nyari narasumber lagi."

"Ya udah, tapi dengan syarat jangan tanya tentang keluarga lebih jauh. Gunakan saja informasi yang kamu tahu. Ada saatnya sendiri aku cerita itu padamu."

"Tapi aku perlu untuk tahu. Agar hasil artikelnya akurat."

"Aku mohon tidak sekarang. Kamu mandi dulu. Udah sarapankan? Ini udah jam sepuluh sana mandi dulu. Aku nggak mau di wawancarai sama cewek bau belum mandi."

Keira mendengus kesal. "Iya aku mandi. Disebelah mana kamar mandinya?"

Reynand tersenyum menahan tawa. "Disebelah kiri kamar dua."

Reynand merapikan piring bekas sarapan mereka. Sebentar lagi Heavens Door juga akan buka. Reynand harus memberikan arahan dulu kepada pegawai-pegawainya. Iapun bergegas kembali ke lantai bawah. Ia juga bersyukur, sepertinya Keira tidak ambil peduli soal telepon tadi. Semoga saja Keira benar-benar lupa

***

CLOSERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang