CHAPTER TWENTY

112 8 3
                                    

Napasnya memburu, kaki Keira berjalan cepat menelurusuri rumah sakit. Raut wajah Keira jelas menunjukkan emosinya sekarang. Marah. Dia sudah sangat berusaha mengontrol emosinya. Ini rumah sakit, jangan sampai ia bertingkah berlebihan. Ia takkan merusak nama papanya hanya karena emosi. Ia pergi ke meja administrasi.

"Permisi, apa dokter Arvandi ada di ruangannya?" tanya Keira.

"Maaf beliau sedang keliling melakukan peninjauan pasien. Kalau mba mau daftar ini formulirnya, setelah itu akan dapat nomor antriannya."

"Saya hanya ingin bertemu papa saya."

"Baik, kalau begitu nona bisa menunggu."

"Tidak usah. Sekalian saya mau tanya. Apa ada pasien bernama Reynand Wiratama di rawat disini?"

"Oh, putra sulung dokter Willy. Beliau di rawat di kamar VVIP 603 dilantai enam."

"VVIP? Ok, dia masuk rawat sejak kapan dan karena apa?"

"Mohon maaf saya tidak bisa memberitahukan lebih banyak. Karena ini privasi pasien."

"Saya tunangannya. Apa saya bukan keluarganya? Saya berhak tahu."

"Nona, kalau nona seperti itu. Saya yang kena marah nanti."

Keira mendesah kesal. Ia tak menyangka malah menggunakan istilah tunangan itu. Padahal hubungan mereka masih belum jelas dan belum sejauh itu. Ia tak mengerti apa yang dipikirkan Reynand ataupun papanya sampai menyimpan rahasia itu darinya. Seolah papanya tak pernah mempercayai dirinya. Sampai mengirim Reynand dan meminta Reynand untuk menjadi pasangannya kelak. Meskipun lelaki itu orang yang baik dan jelas asal usulnya. Tanpa berpikir lagi Keira langsung menaiki lift menuju lantai enam. Setidaknya ia harus mendengar penjelasan dari Reynand.

***

Reynand sedang kedatangan tamu di kamar rawatnya. Sebuah kamar VVIP jelas dilengkapi berbagai macam fasilitas yang mewah seperti hotel bintang lima. Tetapi yang namanya kamar rawat jelas berbeda dengan kamar hotel. Anda disana bukan dalam keadaan senang dan bebas. Tetapi sedang dalam keadaan yang paling lemah dan butuh perawatan. Bebauan obat dan aroma yang khas rumah sakit tetap terasa. Salah satu hal yang paling tidak disukainya sejak lama. Rumah sakit.

"Setelah dari sini mau tidak mau ayah harus mengirimmu mencari Tasya. Sejak kami dirawat, ia juga tak pulang ke rumah."

"Baik. Rey sudah tahu kemana Rey harus mencari Tasya. Rey janji akan membawa Tasya pulang."

"Kamu yakin mau pergi Rey? Bagaimana dengan Keira? Bagaimana dengan hubungan kalian? Masih belum jelas kan?"

"Saya tidak melupakan Keira.Tapi memang saya sudah tidak mengabarinya selama dirawat disini. Saya tidak bisa membiarkan dia tahu kondisi saya."

"Kenapa begitu? Bukankah aku ini tunanganmu?" sahut Keira begitu saja.

"Kei!" Reynand terkejut dengan kemunculan Keira yang tiba-tiba.

Keira masuk, dan duduk di sofa yang tersedia. Ia langsung bicara menghadap papanya, dokter Willy dan Reynand.

"Jadi, kalian membicarakan apa? Apa ini masih tentang hubungan kami?"

"Kei, dari mana kamu tahu aku disini?"

"Darimana itu tidak penting. Kalau kamu tahu darimanapun, kamu nggak berhak marah. Karena seharusnya aku yang marah." jawab Keira sinis.

Getir. Itu yang seketika dirasakan Reynand. Nada bicara Keira tak pernah segetir itu padanya. "Aku bisa jelaskan semua Kei." mohon Reynand. Reynand terdiam. Ia sadar Keira yang sekarang tak dapat ditenangkan dengan mudah.

CLOSERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang