CHAPTER TWENTY THREE

116 7 0
                                    

Hari ini rapat pertama guna mempersiapkan edisi terbaru Verona. Sekali lagi ide Tommy untuk mengadakan rapat di luar ruang redaksi. Di taman depan gedung rektorat. Keira memperhatikan tampilan bang Tommy yang sedikit berubah, kali ini dia memakai setelan komplit dengan jas alamamater. Keira menduga bang Tommy pasti baru selesai sidang. Memaksakan beberapa hari tak kuliah, rupanya dia sudah cukup banyak ketinggalan berita. Tanpa ia sadari bang Tommy sudah sidang.

"Selamat ya bang. Akhirnya lo sidang juga." sahut Keira.

"Makasih ya. Kalau nggak salah cowok lo yang kemarin juga lagi ngurus skripsi kan? Udah sejauh mana dia?"

Keira terdiam, dia sejenak mematung. Tommy menghela napas lagi. Dia mulai memahami situasinya. Keira jelas dalam masalah dengan lelaki itu. Sepertinya dia harus langsung mengganti pembahasan, bagaimanapun ini rapat terakhirnya. Setelah rapat selesai, baru ia bicara empat mata dengan Keira.

"Ya, semua. Dengar gue baik-baik. Karena bentar lagi gue bukan mahasiswa sini lagi. Jadi, gue udah bukan pimpinan redaksi lagi. Jadi gue mau menunjuk pengganti, bagaimanapun harus ada yang memimpin ini majalah. Kalau ada nama yang mau kalian ajukan. Silahkan, hari ini bisa kita lakukan voting. Jadi edisi bulan depan bisa langsung di bahas setelah ini."

Semua terdiam. Tommy memperhatikan satu persatu anggotanya yang tiba-tiba mematung. Dia menggaruk kepalanya, seperti yang ia duga tak ada yang mau mengajukan diri ataupun mengajukan nama.

"Oke, gue ngomong sama patung rupanya. Ada dua nama yang dipikiran gue, gue pilih mereka karena pengalaman mereka, skill mereka, dan interaksinya dengan anggota baik itu junior ataupun senior. Keira dan Dafa. Bagaimana kalian setuju dengan pilihan gue? Kalau setuju, langsung buat voting sekarang. Ambil kertas tulis yang dipilih. Sekarang." seru bang Tommy.

Keira mendelik ia terkejut dengan ide bang Tommy. Mengajukan namanya sebagai pimred Ia tidak pernah punya keinginan untuk jadi pimpinan redaksi. Dia hanya suka menulis, dia tidak memiliki ambisi seperti itu. Tommy tersenyum, ia sadar Keira menatapnya tajam. Tapi menurutnya itu bagus untuk menambah pengalaman Keira. Tiga menit kemudian, kertas voting telah terkumpul. Tommy dibantu sekretaris memulai perhitungan suara.

"Ya dan suara terakhir jatuh pada Dafa."

Keira bernapas lega. Setidaknya bukan dia yang dipilih. Semua bertepuk tangan, mengucapkan selamat kepada yang berhak. Akhirnya rapat malah berakhir dengan acara makan bersama dibanding dengan rapat lanjutan untuk edisi bulan depan. Masih cukup waktu Tommy menghampiri Keira dan mengajaknya bicara berdua.

***

Reynand diantar pulang oleh Dimas dan Tiana. Reynand sudah nampak lelah. Mungkin bagi orang yang sehat dan memang niat untuk berlibur, perjalanan yang ia lakukan terasa jauh lebih ringan dan menyenangkan. Tetapi untuk seseorang yang baru beberapa hari rumah sakit, lalu melakukan perjalanan antar provinsi dengan tujuan tertentu dan bukan berlibur. Perjalanan ini jadi terasa berat dan melelahkan. Bersyukur Dimas dan Tiana mau menemani.

Heavens door sedang sepi, tidak banyak pengunjung yang datang. Reynand berjalan gontai menuju lantai dua kamarnya. Menginjak anak tangga ke lima. Sekali lagi, dadanya terasa sesak dan sakit. Ia istirahat sejenak. Tangannya terkepal kencang, keningnya berkerut, batinnya ingin berteriak meluapkan emosi yang selama ini tertahan. Rasanya semua emosi memaksa ingin di keluarkan. Pemikiran buruk mulai merasuki kepalanya. Dadanya terasa sangat sakit. Ia benar-benar menahan sakitnya. Ia ingin berteriak pada Tuhan, semua keluhan yang selama ini tak tertumpahkan. Kesakitan panjang yang harus ia alami. Mengapa harus dia yang mengalami semua ini?

Angga baru datang, ia terkejut melihat temannya terkulai di tangga. Bergegas ia menghampiri Reynand. Ia sadar betul kondisi sahabatnya itu belum pulih benar.

CLOSERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang