1

129 9 5
                                    

Aku tak pernah menyangka jika rasa sayang ini akan berkembang menjadi perasaan yang rumit dan sulit untukku mengerti

For: Azka Abyan S, September 2012

***

Tubuhku membeku saat alat rumah sakit itu menunjukan garis lurus dan mengiung sangat keras. Aku panik saat mata enin tak terbuka lagi dan hembusan nafasnya terhenti. Semua orang menangis dan ibuku memeluk erat tubuhku. Dokter dan suster terlihat sangat sibuk dengan semua alat yang aku tidak tau apa itu dan untuk apa mereka memasangnya pada tubuh enin.

Beberapa menit kemudian dokter yang menangani enin menghela napas panjang kemudian menutup seluruh tubuh enin dengan selimut. Ibu melepaskan tubuhku kemudian menghampiri dokter dengan cepat. Sekilas aku mendengar dokter itu berbicara pada ibu.

"Maafkan saya bu. Saya hanya bisa membantu sekemampuan saya. Semua adalah kehendak Allah. Saya harap ibu dan keluarga bisa bersabar" detik itu juga tubuh ibu lunglay. Ibu menguatkan dirinya menghampiri tubuh enin yang sudah terbujur kaku. Ibu memeluk enin dengan erat seraya menangis dengan keras. Tubuhku mematung melihat semua yang terjadi di depan mataku. Air mataku mulai bercucuran. Entah kenapa hatiku sakit melihat ibu begitu sedih di hadapan tubuh enin yang pucat. Seketika itu aku menyadari ada sesuatu hal yang hilang dalam hidupku. Dokter itu kemudian menghampiriku yang belum memahami apa yang sedang terjadi di hadapanku. Dokter itu tersenyum menatapku kemudian berjongkok menyesuaikan tinggi tubuhnya dengan tubuhku.

"Dokter tau kamu anak yang kuat dan tegar." Kemudian dokter itu menepuk pundakku beranjak pergi meninggalkan kamar enin. Saat itu aku masih bingung dengan perkataan dokter tadi dan aku keluar menyusul dokter

"Dok enin kenapa?" Aku berusaha menahan air mataku. Ribuan pertanyaan memenuhi otaku. Kemudian dokter itu membalik badannya kearah ku.

"Enin hanya lelah dengan penyakitnya. Enin ingin beristirahat di tempat yang sangat indah di sisi Allah. Dan enin tidak akan sakit lagi" ujarnya lembut padaku

"Apa enin akan pergi?" Tanyaku yang mulai bercucuran air mata

"Hanya sebentar" dokter itu tersenyum kemudian mengelus rambutku halus. Setelah mengatakan itu dokter kembali melanjutkan langkahnya dan meninggalkanku

Aku terduduk sendiri di bangku rumah sakit. Ibu masih tersedu sedu di samping tubuh enin yang tak bergerak. Entah kenapa perkataan dokter tadi sukses membuat mataku terus menangis. Aku menutup mataku dan tertunduk memeluk kakiku sendiri. Aku tidak ingin berpisah dengan enin walau hanya sekejap.

Beberapa saat kemudian pundaku di tepuk oleh seseorang. Aku pun menoleh ke arahnya. Kemudian dia tersenyum kecut menahan tangis menatapku, dia memeluku. Wajahnya merah dan redup. Tak seperti biasanya.

Sontak aku langsung memeluk tubuhnya erat menumpahkan segala beban yang ku tampung sedari tadi. Aku menangis tersedu sedu di pundaknya.

"Tenang sof ada kakak disini" aku hanya bisa menangis, mulutku seakan membisu

"Meski pun enin pergi meninggalkan kita tapi kasih sayangnya akan selalu ada untuk kita" aku menyeka air mataku dan hanya melontarkan tatapan kosong pada kak Azka. Aku benar benar belum bisa menerima keadaan ini. Hening kak Azka kembali memeluku dan mengeratkan pelukannya. Samar samar aku mendengar dia menangis perlahan.

"Az sof kalian ikut di mobil om" ajak om dindin.

"Iya pah" jawab kak azka dengan lemas. Raut wajahnya lesu dan sedih. Kemudian dia menatapku dengan senyuman nanar.

FriendshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang