Bab Sembilan Belas - Memory

4 0 0
                                    

"Hei L'Clat, apa kau mendengar apa yang sedang ku katakan sekarang?" tanya Devis ketika dia sedang berada di dalam dapur.

"Apa yang sedang kau bicarakan tadi?" tanya Lucy sedikit bingung. Ia kini benar-benar tidak berkonsentrasi, pikirannya selalu melayang-layang seperti jiwanya tidak ingin berada di dalam tubuhnya.

"Apa yang sedang kau pikirkan sekarang?" Devis lalu mengambil segelas air putih dan meletakkannya di hadapan Lucy.

"Maaf, aku sedang tidak enak badan sekarang. Mungkin sedikit lelah."

"Kau sakit?" tanpa mengatakan apapun, Devis langsung berdiri dan menghampiri Lucy. Gadis tersebut hanya diam di tempat ketika Devis menyentuh wajahnya dan menempelkan kening mereka. "Kau sedikit hangat."

Lucy langsung melepaskan tangan Devis lalu menjauh dari laki-laki itu. "Semua manusia memiliki suhu panas tubuh. Jadi jangan mencoba-coba untuk mendekatiku." Devis lalu tertawa pelan, "sepertinya L'Clat yang dulu aku kenal sudah kembali lagi." Lucy tidak menjawab dan hanya menatap kosong. Lagi-lagi kepalanya kosong, entah kenapa ia selalu mengingat Palvin dan ayahnya. Rasanya ia masih tidak percaya bahwa ia hanya seorang diri di dunia ini. Semuanya begitu hampa di apartemennya. Kekosongan selalu menyelimuti ia setiap hari.

"Jika kau terus melamun, aku akan mencium mu." Suara tersebut langsung membuat Lucy sadar dan entah bagaimana caranya namun wajah Devis sudah sangat dekat dengannya, bahkan bibir mereka hanya berjarak beberapa centi saja. Lucy dengan cepat langsung mendorong dirinya ke belakang hingga membuat ia hampir terjatuh kalau Devis tidak menahan bangku yang sedang di duduknya. "Kau seharusnya lebih berhati-hati."

"Sebaiknya kau yang seharusnya menjaga jarak dengan ku, agar aku tidak celaka." Balas Lucy dengan sinis. Ia lalu berdiri dan berjalan ke ruang tamu. "Pulanglah, kau tidak harus setiap hari datang ke sini. Aku juga memiliki privasi sendiri. Katakan pada ayah dan ibumu bahwa aku baik-baik saja. Jadi mereka tidak perlu menyuruhmu datang ke sini untuk mengurusiku."

"Mereka tidak menyuruhku datang ke sini."

Selama beberapa detik mereka hanya terdiam. "Aku datang ke sini adalah kemauan ku sendiri, aku hanya ingin menemani mu. Aku tahu rasanya.."

"Hentikan omong kosong mu! Kau tidak tahu apapun soal aku, kau tidak pernah tahu rasanya jadi aku! Tidak ada yang tahu selain diri ku sendiri! Setiap hari aku harus tersiksa dengan kesendirian dan kesepian ini! Kenapa kau harus membiarkan ku hidup seorang diri! Aku lelah! Sangat lelah hingga ingin mati!" teriak Lucy sambil terisak-isak, ia tidak tahu kenapa ia begitu marah, rasanya seluruh bebannya meluap begitu saja. Ia sendiri tidak tahu apa yang sedang ia bicarakan saat ini, namun mulutnya terus berbicara tanpa memedulikan apapun.

Lucy lalu menutup wajahnya sambil menangis, hidupnya begitu menyedihkan sekarang. Setiap hari ia harus melewati seperti di neraka. Menangis setiap malam, dan melihat dirinya sendiri sambil mengatakan bahwa ia begitu menyedihkan saat ini.

"Pulanglah Devis, aku benar-benar ingin sendiri saat ini." Devis tidak menjawab, namun dia langsung menghampiri Lucy dan memeluk gadis itu. "Bagaimana bisa aku meninggalkan mu dalam keadaan seperti ini. Maaf, aku memang tidak tahu bagaimana rasanya menjadi dirimu, tapi aku ingin kau membagikan perasaan itu pada ku. Meski aku tahu ini tidaklah mudah. Tapi setidaknya kau harus percaya pada ku, percayalah pada seseorang. Kau tidak harus sendirian selamanya, kau masih memiliki banyak orang yang berada di sekitarmu. Percayalah, semuanya akan baik-baik saja." Lucy tidak menjawab, gadis itu hanya membenamkan wajahnya pada dada Devis sambil terus menangis untuk mengurangi bebannya yang selama ini ia kumpulkan. Beban yang begitu berat hingga ia tidak tahu ke mana harus membuangnya. Begitu lelah dan begitu tidak berdaya, apakah ia masih bisa bertahan sampai akhir?

Life is HopeWhere stories live. Discover now