Bab Dua Puluh Empat - Ready

3 0 0
                                    

Sinar matahari masuk melalui celah-celah gorden membuat Lucy terbangun karena silau, ia berkedip-kedip beberapa kali dan duduk di pinggir ranjang sambil menatap sekeliling kamarnya. Tidak ada yang berubah, semuanya seakan-akan seperti mimpi yang menyebalkan baginya. Ia berdiri dan keluar dari kamar, lalu turun ke lantai satu.

"Selamat pagi." Sapa seseorang membuat ia sedikit terkejut.

"Oh, ternyata kau." Kata Lucy sambil membuka kulkasnya. "Apa kau sudah lupa kalau aku dari semalam berada di sini?"

"Kau memang berada di sini semalam, tapi tolong jangan mengatakan seakan-akan kita sudah berbuat sesuatu."

"Wow, aku bahkan tidak berpikir seperti itu." Jawab Devis sambil tersenyum. Lucy tidak menghiraukannya dan hanya sibuk dengan sereal paginya.

"Aku sudah memutuskannya." Katanya tiba-tiba sambil menatap meja makan. "Mungkin aku akan mencoba bertemu mereka." Seketika Devis langsung tersenyum lebar, dia berdiri dan menghampiri Lucy. "Setelah ini bersiap-siaplah, kita akan langsung berangkat untuk bertemu mereka." Seketika Lucy langsung kaget dan bingung, "sekarang?"

"Memang kau ingin menundanya sampai kapan lagi?"

"Tapi kau tidak tahu di mana mereka sekarang, bukan?" Devis hanya tersenyum. Lucy tidak bertanya lagi, ia kembali berpikir. Ia baru mengingat Devis berasal dari keluarga yang kaya, tidak heran jika dia bisa menemukan orang hanya dalam waktu semalam. Devis mengeluarkan ponselnya dan berjalan agak menjauh sambil menelepon seseorang. Lucy kembali makan sarapannya sebelum ia berangkat.

☺☺☺

"Kadang aku merasa aku belum siap untuk bertemu dengan mereka." Kata Lucy ketika mereka berada di dalam perjalanan.

"Jangan terlalu gugup, kau harus lebih santai. Bukankah ini yang selalu kau tunggu-tunggu?" Jawab Devis sambil menyetir. Ya benar, ini adalah saat Lucy tunggu selama ini. Setidaknya ia tahu, ia tidak sendirian, kira-kira bagaimana wajah ibunya sekarang? Bagaimana dengan saudara kembar Palvin, apakah mereka akan sangat mirip atau sebaliknya? Oh, semakin ia memikirkannya, jantungnya semakin berdebar keras. Tidak, tidak, ia harus lebih santai.

"Sebentar lagi kita sampai." Devis lalu tersenyum pada Lucy. Oh sungguh, jantungnya tidak ingin berhenti berdebar keras, tidak bisanya jantungnya kembali berdetak normal? Ia takut bahwa Devis bisa mendengar detak jantungnya, meski ia sendiri tahu bahwa Devis sudah tau kalau ia sangat gugup dari tadi.

"Kau tidak seharusnya mengantar ku." Kata Lucy agar terlihat lebih santai.

"Kau hanya perlu mengatakan terima kasih pada ku." Lucy langsung berdeham pelan, "terima kasih." Devis tidak menjawab dan hanya tersenyum.

"Well, kita sudah sampai." Devis lalu keluar dari mobilnya, Lucy hanya terpaku di dalam mobil sambil menatap keluar kaca depan mobil dengan gugup. "Apa kau tidak ingin keluar?" Tanya Devis yang sudah membukakan pintu untuk Lucy, Lucy hanya menelan ludahnya sambil menatap rumah yang berada di depannya. Apakah rumah ini yang ibunya tinggal di sini bersama saudara kembar Palvin? Rumah yang sangat sederhana, seperti rumah-rumah umumnya.

Suara pintu terbuka, dan terlihat seorang laki-laki yang keluar dari rumah tersebut sambil tersenyum. Seketika Lucy seperti terpaku di tempat, ia melihat laki-laki itu. Dia terlihat seperti Palvin, Lucy menatapnya seakan-akan Palvin masih hidup dan berada di depan matanya saat ini. Ia ingin menangis saat itu juga sambil memeluk orang yang berada di depan pintu rumah itu.

Laki-laki tersebut lalu menengok dan melihat mobil yang terparkir di depan rumahnya, ia menghampiri Lucy dan Devis. "Apa kalian mencari seseorang di sini?" tanya laki-laki tersebut sambil bergantian menatap Lucy dan Devis. Lucy tidak bisa berkata apa-apa, hanya bisa membekap mulutnya sambil menahan air matanya yang hampir tumpah.

Life is HopeWhere stories live. Discover now