Bab Dua Belas - Curious

4 0 0
                                    

Hujan di kota New York saat ini benar-benar di luar perkiraan Lucy. Sebelum pergi ia memang sudah menggunakan payung, kalau hujan tidak terlalu besar, mungkin ia akan lebih memilih untuk tidak membawa payung karena itu benar-benar sangat merepotkan. Jika bukan karena Palvin yang memaksanya untuk berbelanja, mungkin ia tidak akan keluar dari kamarnya saat ini, dan lebih memilih untuk tidur dengan tenang. Setelah berbelanja ia masuk ke salah satu kedai teh, meski tidak terlalu menyukai minum teh, tapi ia sangat menikmati aroma teh yang sangat membuat ia tenang. Sejak ia kembali ke New York, entah kenapa ia merasa sangat merindukan aroma teh yang berada di desa Niagara. Meski rasanya tidak sama seperti yang di sana, namun dengan aroma terapi yang di dalam kedai teh tersebut membuat ia menjadi santai. Setidaknya belanjaannya tidak terlalu banyak, membuat ia tidak akan kesulitan untuk pulang ke rumahnya setelah ini. Menikmati dinginnya hujan dan suasana yang begitu nyaman membuat ia menjadi sedikit mengantuk.

Setelah cukup lama berada di dalam kedai teh tersebut, ia melirik jam tangannya. Sepertinya ia sudah cukup lama berada di sana. Hujan bahkan belum berhenti, membuat ia semakin malas untuk pulang. Tapi, ia tidak ingin Palvin mengoceh, ia lebih memilih untuk kembali ke apartemennya. Ia keluar dari toko tersebut dan membuka payungnya, berjalan melewati pinggiran toko sambil menikmati hujan yang masih deras.

Seorang pria yang terlihat sudah sangat tua dan berjalan bungkuk, dia tidak menggunakan apa pun untuk melindungi tubuhnya. Bahkan dia terlihat sangat kedinginan sambil memeluk tubuhnya, jalannya pun sangat lambat ketika ingin berteduh. Beberapa orang yang terlihat lewat tidak memedulikannya, seakan-akan dia bukan masalah bagi mereka. Lucy lalu mendekati pria tersebut.

"Kau bisa menggunakan payung ku, tuan." Kata Lucy lalu memberikan payung miliknya. Pria tersebut lalu menatap Lucy, "tidak perlu nona, nanti kau akan kehujanan." Tolak pria tersebut. Lucy hanya tersenyum, "kau lebih membutuhkannya di bandingkan aku. Jadi, pakailah ini."

"Apakah kau menjual sesuatu?" tanya Lucy ketika melihat pria tersebut memeluk sebuah plastik. Pria itu lalu tersenyum kecil, "ya, aku menjual koran." Pria tersebut lalu membuka plastik yang berada di dalam bekapannya dan memperlihatkan setumpuk koran yang belum terjual olehnya hari ini.

"Kau beruntung! Aku suka sekali membaca koran, akan ku beli semua koran ini." Lucy lalu mengeluarkan dompetnya dan memberikan dua lembar uang pada pria tersebut.

"Uang ini terlalu banyak nona, lagi pula kau cukup membeli satu koran ini, kau sudah bisa membaca semua isi korannya."

"Oh, benarkah? Tapi, sepertinya teman-temanku juga ingin membaca. Jadi aku akan membelikan untuk mereka, karena aku tidak ingin berebutan membaca dengan mereka. Percayalah." Lucy lalu tertawa dan memberikan uang tersebut pada pria itu. Ia lalu memberikan isi belanjaannya sambil tersebut.

"Untukmu, kau pasti lapar. Dan ini," Lucy lalu melepas syalnya dan melilitkannya ke leher pria tersebut. "Bonus untukmu. Aku benar-benar harus pergi sekarang, sebelum adik ku benar-benar ingin membunuhku. Semoga hari mu menyenangkan! Sampai jumpa!" Seru Lucy tanpa mendengar jawaban dari pria tersebut. Ia lalu berlari melewati hujan sambil menutupi kepalanya dengan telapak tangannya yang kecil.

"Kemana saja kau Lucy?! Di mana payung yang tadi kau bawa tadi? Bagaimana bisa kau kehujanan seperti ini?" Teriak Palvin ketika Lucy baru membuka pintu apartemennya. Lucy tidak menghiraukannya dan berjalan masuk, "apa itu yang kau beli?" tanya Palvin lagi. Lucy tidak menghiraukannya lagi dan meletakkan sebuah plastik hitam yang besar di dekat pintu masuk. Dia lalu masuk ke kamar untuk mandi sebelum ia terkena flu. Palvin hanya menatap kakaknya tersebut dengan bingung, interkom yang terpasang di dinding berbunyi lalu Palvin pergi dan menatap layar kecil di sana. Ia membuka pintu bawah dan tidak membutuhkan waktu lama, suara pintu apartemennya berbunyi. Dengan cepat Palvin langsung membuka pintu untuk orang yang sudah berdiri di depannya.

"Oh! Hai Devis, ada apa kau datang ke sini?" Seru Palvin, ia lalu mengundang Devis masuk dan mempersilakan ia untuk duduk di ruang tamu. "Tidak, aku hanya ingin mampir sebentar saja." Katanya lalu tertawa, "apa ada L'Clat di sini?" tanyanya hati-hati. Palvin lalu tersenyum kecil, "sedang mandi. Tadi aku menyuruhnya untuk berbelanja, justru dia tidak pulang membawa belanjaan ku dan malah membawa plastik yang besar dan entah apa isinya." Jelas Palvin sambil mengangkat bahunya bingung, Devis lalu melirik plastik hitam besar yang di geletakannya di dekat tembok.

Setelah selesai mandi Lucy lalu keluar dari kamar mandinya dan memakai baju, ia keluar dari kamarnya dan hendak ingin mengambil minum sambil membawa handuk yang berada di kepalanya. Seketika ia diam di tempat dan menatap siapa orang yang sedang berada di ruang tamunya dengan kaget. "Se-sedang apa kau di sini?!" Seru Lucy sambil menunjuk Devis yang sedang duduk di sofanya dengan santai. "Dia sedang berkunjung ke sini, dan ada yang ingin aku tanyakan pada mu. Di mana belanjaan mu yang tadi ku suruh kau beli?" Lucy langsung diam di tempat dan melirik Palvin yang sedang melipat tangannya di depan dada.

"Aku lupa membelinya." Sahut Lucy santai sambil berjalan ke dapur.

"Apa? Tapi kenapa kau bisa begitu lama?"

"Benarkah? Ku kira aku hanya bersantai sebentar di kedai teh tadi."

"Lalu apa yang tadi kau bawa?" Palvin lalu berjalan mendekati plastik yang Lucy bawa tadi.

"Apa itu koran?" tanya Devis lalu menatap Lucy. Lucy hanya diam dan menatap Devis dengan bingung. Bagaimana bisa Devis mengetahui isi plastik tersebut? Apa dia sudah membukanya tadi?

"Koran?" seru Palvin bingung sambil melihat isi plastik tersebut. "Kau membeli koran?" Lucy hanya mengangkat bahunya dengan santai, "kenapa kau sangat kaget? Bukankah kau sudah mengetahui isinya?"

"Aku? Aku saja baru membukanya, bagaimana aku bisa mengetahui isinya?" tanya Palvin bingung. Lucy mengangkat sebelah alisnya dan menatap Palvin sesaat kemudian mengalihkannya pada Devis.

"Bagaimana bisa kau tahu isinya? Apa kau sudah membukanya sebelum Palvin membukanya?"

"Aku? Tadi aku saja masuk bersama Palvin, kenapa kau bisa mengatakan aku membukanya tanpa sepengetahuan kalian?" kata Devis. Lucy hanya menatap Devis bingung, ia tidak tahu bagaimana Devis bisa mengetahui isi koran tersebut padahal tidak ada yang tahu selain dirinya.

"Sudah hentikan omongan ini. Kau masih belum menjawab pertanyaan ku tadi, di mana belanjaan mu?" Palvin lalu menatap Lucy sambil menunggu jawaban Lucy.

"Sudah ku katakan, aku lupa membelinya." Sahut Lucy santai, Palvin lalu mendesah keras. Ia tahu, tidak mungkin Lucy lupa membelinya. Lucy adalah gadis yang tanggung jawab, ia tidak mungkin melupakan sesuatu yang sudah ia katakan. Lucy tidak ingin berdebat lagi, ia lalu masuk ke kamarnya dan bersantai.

Palvin hanya mendesah sambil menatap kepergian Lucy, "benar-benar." Devis lalu tertawa, "dia benar-benar gadis yang unik."

"Terlalu unik dan aneh." Balas Palvin. "Tapi, bagaimana bisa kau tahu isi plastik ini?"

"Aku tadi melihatnya di dalam mobil sebelum aku mampir ke sini."

"Lihat siapa?"

"L'Clat."

"Benarkah? Apa yang dia lakukan? Apa kau tahu?"

"Tidak," jawab Devis sambil tertawa kecil. "Aku hanya melihat dia menolong seorang pria tua." Palvin tidak menjawab dan tersenyum, "sudah ku duga."

"Benarkah?" Palvin lalu mengangguk kecil, "tentu saja, dia selalu melakukan itu sejak dulu."

"Sejak dulu?" Devis menatap Palvin bingung. Palvin yang baru menyadari perkataannya langsung berdeham pelan, "lupakan saja. Oh kau ingin minum sesuatu?" tanya Palvin lalu pergi menuju dapur untuk mengalihkan pembicaraan.

"Apa kau sudah lama bekerja dengannya?" tanya Devis.

"Ya, seperti itulah kira-kira." Devis lalu mengangguk-ngangguk kecil, "tapi sepertinya kau sangat tahu banyak tentangnya." Palvin melirik Devis sekilas dan tersenyum kecil. Ia tidak ingin menjawabnya lebih jauh, karena sepertinya Devis terlihat sangat tertarik untuk mengetahui kehidupan Lucy maupun Palvin.

Sebenarnya Palvin tidak keberatan jika menceritakan masalahnya pada Devis, karena ia tahu Devis adalah laki-laki yang bisa menjaga rahasia. Ia sudah cukup lama mengenal Devis, jadi ia bisa mempercayai laki-laki itu. Tapi, sayangnya Lucy pasti tidak menyukainya, setelah mendengar cerita Lucy, terlihat jelas Devis tertarik dengan Lucy hingga membuat ia selalu mengganggu Lucy. Ia tahu benar temannya tersebut, tidak mungkin ia akan mengganggu seorang gadis jika ia tidak tertarik dengan gadis tersebut.

Life is HopeWhere stories live. Discover now