Part 5 #1

261 29 0
                                    


Pagi yang sejuk ini sangat rugi jika dihabiskan hanya di dalam rumah, Aliani mengajak Nara untuk pergi kesawah. Menikmati udara pagi yang segar. Ditemani burung – burung yang berterbangan. Padipun ikut menyapa kedatanganku. Menyisakan senyuman yang telah hilang.

Dipertengahan jalan, Aku melihat Mas Ami. Mas Ami terlihat gagah saat mengajarkan ilmu beladiri kepada anak – anak di tengah lapangan kering dekat sawah – sawah milik orang tua mas Nara.

Kami pun menghampirinya. Nara mengikuti gerakan yang diinstruksikan oleh Ami pada anak – anak. Dalam hati rasanya ingin bergabung, tapi aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak ikut campur tentang apapun yang berkaitan dengan silat. Aku masih bisa menikmati pertunjukannya di saung pinggi lapangan.

Aku merasa senang bisa bertemu dengan Mas Ami. Aku menyukainya sedari kecil. Ketampanannya membuatku jatuh cinta. Awalnya aku pikir itu hanya cinta monyet, tapi saat sekarang aku memandangnya dengan segala kemampuannya itu menambah pesona dirinya yang memikat hatiku.

Tak sedetik pun aku mengalihkan pandangan dari mas Ami. Selain ilmu beladiri, Mas Ami juga pintar dalam ilmu agama, cowok idamanku banget.

Setelah latihanya selesai, Mas Ami dan Mas Nara mengahmpiri Aliani di saung. Sebelum itu ada seorang anak perempuan yang mengajakku untuk latihan, terpaksa aku menolaknya.

Kami bertiga pun berjalan – jalan di sawah. Menikmati udara pagi yang masih segar sambil mengenang masa – masa kecil. Tertawa mengingat tingkah – tingkah aneh waktu kecil. Rebutan makanan, mainan, sampai salah satu diantara kami menangis barulah berhenti. Tawa pun melebur dalam hembusan udara alam mengelilingi kami.

Seorang gadis cantik berkerudung menghampiri kami, Fatimah namanya. Menghentikan sejenak langkah kami di ujung jalan. Menghentikan tawa yang sisakan tanya begitu mendalam.

Fatimah membicarakan sesuatu dengan mas Ami, terlihat sangat akrab. Aku merasa sangat iri melihatnya, Mas Nara melihat sikapku yang tak karuan. Aku berjalan perlahan sambil menendang batu – batu kecil di jalanan, melanjutkan perjalanan tanpa mereka.

Dari belakang bayangan seseorang terlihat mengikuti. Aku hanya mengomel menganggap itu adalah mas Nara, "apaan si mas? Udah sana aja, ngapain mas Nara ngikutin aku, mas mau ngeledekin aku ? nyebelin? Mas seneng ngeliat aku badmood ? emang yah mas tuh gak pernah peduli sama aku" gerutuku perlahan terdengar samar - samar.

" kata siapa?" tutur Mas Ami dengan suara khasnya membuat Aliani terkejut dan menengok ke belakang.

" Mas Ami?" aku sangat terkejut melihatnya.

" Mas peduli sama kamu, kalau tidak, Mas bakal biarin kamu jalan sendirian aja" tutur Mas Ami membuatku geer.

"hehe, gak kok mas, tadi tuh maksdunya......" cakapku salah tingkah dibuatnya.

" Mas tau kok, kamu cemburu kan?" cakap Mas Ami membuat pipiku terasa panas. Seakan aku ingin menunduk. Agar tak tertangkap basah.

" haah... cemburu?" ujarku terkejut.

" iyah, kamu cemburu lihat Nara mengantar Fatimah kan? Tenang, Nara tidak akan macam – macam kok, tidak mungkin juga kan mas biarin Fatimah pulang sendirian" ujar Mas Ami sedikit mengecewakan.

AKu pikir kamu. " aduhh,,, bukan kok mas, aku gak cemburu, apalagi sama Mas Nara, buat apa?" ujarku tak peduli. Tak bersemangat membahas mereka.

"hemm, baguslah" ujar Mas Ami. Aliani mencoba mencerna ungkapan Mas Ami barusan.

Kami berjalan menuju rumah nenek. Setiba di depan rumah, Mas Ami pamit pulang. Lian, begitu sebutan Mas Ami padaku.

Tidak lama setelah mandi, aku duduk di kursi ruang tamu, niatnya bersantai sambil menikmati acara televisi dan akun sosial mediaku. Aku sangat terkejut melihat seseorang yang tertidur di kursi.

" Astagfirullah," sontak suaraku membangunkannya, " bangun, ngapain disini?" aku menarik lengannya.

" apaan sih?" ujar Mas Nara dengan mata kelelahan yang tidak sengaja menarik lenganku. Sontak tubuhku berada satu jengkal di hadapannya. Terdiam menatap Mas Nara begitu dekat. Sesuatu bergetar di hati.

" ish.." ujar Lian mencoba menegakan tubuh.

" bangunin orang tuh yang sopan bisa kan?" ucap Mas Nara masih memandangi wajahku.

" gak bisa..." jawabku dengan jutek.

" udah dikasih kesempatan jalan berdua sama Ami masih aja jutek, gak tau terima kasih" ujar Mas Nara duduk tegap di kursi.

" maksudnya? Ngapain harus terima kasih sama kamu? Lagian mas Ami juga mau nganterin aku sendiri kok, bukan karena kamu..." aku menjulurkan lidah menyenggol bahunya.

" oh yah? Dia itu tadinya mau nganterin Fatimah, bukan loe" singkat Mas Nara.

" haah..... apa tidak bisa bicara dengan kata – kata yang lebih sopan?" aku rasa tidak terima dengan ucapan Mas Nara, menyakitkan.

Kami pun terdiam, Nara mencoba melirik wajahku yang terlihat sedih. " sudahlah, seperti tidak ada laki – laki lain saja, kaya gitu aja nangis" ucap Nara ceplas – ceplos.

" mas tuh bisa diam gak sih, mas tak perlu bicara seperti itu. Aku sudah tahu, Mas Ami gak punya perasaan buat aku, tapi ucapanmu itu terlalu kasar, lebih menyakitkan" sontak aku menangis.

" yah, kok jadi gue, yah... pake nangis lagi..." ujar Mas Nara memandangi wajahku, " cengeng banget sih, kaya gitu aja nangis". Isakan tangisku pun semakin keras.

" ya Allah, kamu itu Liaaan,,,," ujar Mas Nara begitu greget melihatku menangis. Mas Nara pun merangkul Lian ke bahunya.

" mas jahat, jahat, jahat,,,,," aku memukul tubuh Mas Nara tak bertenaga.

" maaf...." ucap Nara dengan mengelus kepalaku, " aku tak bermaksud seperti itu".

" entah apa yang membuat aku menangis, rasanya menyakitkan sekali. Terasa sesak dalam dada", suara hatiku tak mampu membendung tangis yang tak pernah terurai. Seketika tetesannya membasahi pipi. Entah aku merasa semua akan baik – baik saja di dekatnya.

Dalam dekapannya aku pun tertidur. Menyisakan butiran air mata yang membasahi kaosnya. hingga aku pun terlelap bersama mimpi.Nara meletakan tubuhku di sofa. Bergegas ke mushola.

The Martial Art of loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang