Part 8

191 25 3
                                    


Hari Pernikahan!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari Pernikahan!

Hari ini adalah hari pernikahan Fatimah bersama Ami.

Aliani sedang bersiap untuk menghadirinya. Aliani datang bukan undangan pernikahan mereka, melainkan ajakan Ami untuk bertemu dengannya. Tanpa curiga apapun Aliani akan bertemu dengan Ami hari itu juga.

Nara berencana untuk mengajak Aliani. Tanpa harus memberitahunya terlebih dahulu.

" tersenyumlah selalu" pesannya tanpa kecurigaan sedikitpun.

" ada apa?" ujar Aliani ada sesuatu yang disembunyikan, namun Nara hanya terdiam dan melakukan hal lainnya.

" ketegaran akan membuatmu bertahan" ucapnya perlahan sembari menatap mata Aliani yang berbinar kebahagiaan.

" kenapa? Mas Nara lagi kenapa sih?" ucap Aliani mendengar sesuatu yang diucapkannya. Nara tak menghiraukannya.

Aliani masih sibuk merapihkan penampilannya. Sementara jam sudah menunjukan pukul 08.00 wib. Nara menyiapkan sarapannya sendiri. Sementara itu Aliani belum sempat untuk sarapan.

**

Di Masjid, persiapan akad nikah akan segera berlangsung. Semua telah menghadiri acara itu. Nara dan Aliani kemungkinan akan terlambat. Ami terus melirik setiap orang yang masuk ke masjid. Ami harap mereka bisa berbicara terlebih dahulu, sebelum dia menikah dengan Fatimah. Namun pak penghulu telah hadir, saksi dan semuanya telah siap. Fatimah tersenyum bahagia disamping Ami. Akad pun dimulai. Ami melafalkan kalimat ijabnya dengan lancar.

Ijabqobul pernikahan selesai, semua saksi mengatakan "sah". Aliani dan Nara tiba didepan masjid. Dalam keramaian matanya tertuju pada sesosok pria yang sedang duduk di depan penghulu. Memandanginya dengan seksama. Mencari kebenaran sesuatu yang dilihatnya.

Nara berdiri disamping kananku. Menundukan wajahnya yang terlihat kecewa. Bibirku pun kelu. Seakan beku dan membisu. Perlahan genggaman tangannya menghampiriku. Mengisyaratkan senyuman di bibirnya. Menyimpah tanya dalam hati.

Setelah sungkem kepada keluarganya, Ami dan Fatimah menyadari kehadiranku dan Nara. Langkahnya terus mendekatiku, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk bagiku.

Nara mengulurkan tangannya, memberikan selamat. Fatimah pun mengulurkan tangan ke arahku. Gemetar tanganku tak mampu kusembunyikan. Airmata pun seakan beku tak mengalir.

Tak percaya menyelimuti hati dan pikiranku. Tiba – tiba Fatimah memelukku, mencurahkan rasa bahagianya. Bagaikan tertusuk duri yang tersimpan dalam lemari. Tak terlihat, sangat menyedihkan. Mematahkan hatiku.

" selamat" lirihnya dalam dekapan Fatimah. Kesedihanpun mengudara. Menghembuskan rasa kecewa. Yang tak mampu menahan getirnya luka.

" Lian... boleh aku berbicara sebentar?" cakap Ami melepaskan dekapan Fatimah terhadap Aliani. Seketika Aliani memandang ke wajah Nara. Anggukan kepalanya menandakan semua akan baik – baik saja.

Ami membawaku ke depan masjid, lebih jauh dari posisi Fatimah dan Nara. Ungkapan hatinya, sejenak membuatku berfikir. Untuk apa dia mengatakan semua itu padaku. Tidak tahukah dia bahwa itu menyakitkan hatiku yang terdalam.

Getirnya cinta tak mampu lagi kuterima. Sudahi semua sampai disini. Jangan kau meraba – raba luka di hati yang masih terasa perih. Tak bisakah kau membiarkan aku seperti ini. Tanpa mengetahui seluruh isi hatimu. Yang pada kenyataannya kamu sudah menjadi milik orang lain.

Begitu menyakitkan. Pedihnya tak mampu teteskan airmataku. Sungguh menyiksa. Biarlah aku simpan kesedihan ini sendiri. Berharap bahagia akan datang pada dirimu, juga diriku suatu hari nanti.

" maafkan mas Aliani.... mas sayang terhadapmu, tapi mas tidak bisa menolak perjodohan dengan Fatimah, ketika mas tahu kamu dan Nara sudah bersama" cakapnya menyibakkan mataku yang tertunduk.

Terdiam tanpa kata. Menyimpulkan senyuman untuknya.

" aku merasa lega, karena keputusanku dengan Fatimah tidaklah menyakitimu, ini memang salahku yang telah memiliki perasaan terhadapmu" tutur Ami berkelanjutan.

" syukurlah, semoga kalian menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warrahmah" ungkap Aliani.

" iyah, aku juga senang melihatmu dengan Nara, InsyaaAllah dia akan menjadi imam yang baik untukmu" tutur Ami merasa lega.

Aliani bingung apa yang dimaksudkan dari perkataan Ami. Seolah – olah menunjukan bahwa diantara aku dan Mas Nara ada hubungan spesial yang mengakibatkan Ami pun memilih Fatimah. Adapun alasan lainnya, ikatan keluarga. Hatiku berkecamuk, marah, kesal, sedih dan kecewa. Entah kepada siapa aku akan lontarkan kemarahannku. Rasanya aku ingin berlari jauh.

Fatimah dan Nara menghampiri kami, Ami pun pergi bersama Fatimah karena ada tamu yang ingin berjumpa dengan mereka. Aliani terdiam, menghelakan nafas yang lebih panjang. Entah perasaan apa yang menghampiriku. Hambar, tanpa rasa. Tubuhku lemas, tak kuasa berdiri. Nara pun menemaniku, duduk disampingku.

Tak ada kata sedikitpun. Hening, seolah langit biru yang cerah bergantikan awan hitam dan hanya gemuruh angin yang menghampiri. Nara mencoba mencari celah untuk berbicara.

" Ian.." ucapnya perlahan.

Aliani terbangun, lalu berjalan perlahan tanpa arah. Terik matahari tak menghentikan langkah Aliani. Nara terus berjalan mnegikutinya. Melangkah jauh dari sebelumnya. Lian menusuri jalan – jalan yang sepi. Rasanya ingin menarik tangannya, lalu mengajaknya pulang, tapi Nara tak sanggup melihat kesedihan di wajahnya. Bis pun berhenti, kaki Aliani melangkah kedalam bis itu. Nara duduk dibelakang kursi Aliani. Bis pun melaju.

Dua jam kemudian bis tiba di terminal, terminal Pakupatan Serang. Aliani berjalan menuju arah alun – alun yang jaraknya cukup jauh dari terminal. Satu jam lebih perjalanan menuju alun – alun dengan berjalan kaki. Disana Aliani hanya duduk di bawah pohon. Badannya terasa lelah. wajahnya pucat. Dia belum makan sejak pagi tadi.

Jam menunjukan pukul 2 siang. " Ian, kita makan dulu yuk" ajak Nara perlahan.

Aliani hanya diam dan menghela nafas, sesaat airmatanya terjatuh. Tak ada kata yang terucap dari Nara. Tak sanggup melihat kesedihannya itu. Ya Allah, dosaku telah menyembunyikan ini semua padanya. Aliani bergegas berjalan kembali. Nara terus mengikutinya.

Mentari pun mulai kembali pada rumahnya.

Memancarkan cahaya memerah, tanda hari kan berganti malam.

The Martial Art of loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang