Fortune : 1

186 57 108
                                    

Aku menatap nanar daftar nilai matematika yang tertera di mading.

3,2. Ini kenapa harus dipajang di mading sih? Biasanya juga enggak.

Aku membalikkan tubuh dengan kesal. Seumur umur baru kali ini aku dapat nilai 3. (Walau biasanya dapat 4)

Tenang, Dis. Tuhan punya rencana lain.

Setelah berhasil memotivasi diri, aku melangkahkan kakiku dengan gontai ke arah gerbang sekolah. Sambil kepalaku menoleh ke kanan kiri, mencari Lana—sahabatku—biasanya nilai dia juga sama denganku. Lumayan kan, ada teman berbagi kesedihan.

Lana tidak kutemukan. Tetapi mataku malah menangkap sesosok cowok (yang gantengnya luar biasa) sedang berdiri di bawah pohon belimbing.

Wah, cogan. Aku lewat sana, ah.

Dengan bersemangat, aku memutar arah menuju cowok itu berdiri. Sepertinya dia bukan anak SMA. Tapi biar lah, yang penting ganteng.

Tuh kan, Tuhan punya rencana lain. Nggak dapet nilai tinggi malah dapet cogan. Ugh

Saking semangatnya, aku tidak sadar kalau tali sepatuku lepas. Dan..

Brukk--

Aku menginjak tali sepatuku sendiri. Dan, oh no, aku jatuh tepat di depan cowok tadi.

Aduh, harus gimana nih? Mau bangun, sakit. Nggak bangun, malu. Duuhh.

"Kamu nggak papa?" sebuah tangan menepuk lenganku.

Aku mengangkat kepala, cowok tadi tanya ke aku!

"Kamu ... tanya ke aku?" tanyaku dengan kikuk. Aku yakin, sekarang tampangku dungu. Jangan sampai dia ilfeel.

"Iya, aku tanya kamu. Nggak papa, kan?" ulangnya meyakinkan.

Aku mengangguk perlahan, kalau dilihat lihat mukanya mirip artis itu..

Ah, aku lupa nama artisnya.

"Nggak papa. Cuma ... agak sakit sih," jawabku jujur. Siapa tahu dia mau mengantarku pulang karena lututku terluka.

Huh, aku hanya terlalu sering membaca novel romansa.

"Hmm, kalau begitu aku obati ya? Nanti luka kamu infeksi," tawarnya yang sukses membuatku melongo.

Tanpa pikir panjang, dia segera menuntunku menuju bangku di bawah pohon beringin. Lalu mengolesi lukaku dengan obat merah—yang ada entah sejak kapan—dan menutupnya dengan plester—yang ada entah sejak kapan juga.

Dia tersenyum manis kepadaku.

Oh ya ampun. Mama, tolong aku!

"Nah, sudah. Lain kali hati hati, ya," nasihatnya, aku mengangguk, dia menatapku lagi "Ngomong ngomong, namaku Arma"

Oh, Arma. Tuhan, tolong hilangkan tampang dunguku sekarang.

"Aku Disa," ucapku sambil menunduk.

Mendadak luka di lututku tidak terasa sakit lagi. Sepertinya dia berbakat menjadi dokter.

Dokter cintaku.

Sepertinya, nilai matematika dan cowok ganteng sudah membuatku gila. Ralat, setengah gila.

***

Huft, aku nge post ini 2 hari sebelum UN, biar apa yah... biar greget aja lah.wkwkw

Love, Nai

FortuneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang