Fortune : 10

11 1 3
                                    

Aku membuka pagar rumah dengan perasaan amat sangat bahagia. Siapa yang tidak bahagia setelah mendapat nilai 96 setelah sekian lama selalu dapat 5 atau pun 6?

Aku melihat Mama sedang membersihkan sofa di ruang tamu.

"Mama!" teriakku yang membuat Mama terlonjak kaget.

"Kamu ini, bukannya salam apa gimana. Malah ngagetin," omel Mama yang membuatku meringis.

"Mama tau nggak?" tanyaku sambil tersenyum senang

"Nggak lah. Kamu kan belum ngasih tau," ucap Mama

"Ini loh, Ma. Ulanganku dapet 96," ucapku dengan riang. Tetapi Mama malah biasa saja.

"Ma!" teriakku lagi.

"Trus Mama harus gimana? Mama harus beliin kamu es krim gitu?" Tanggapan Mama membuatku kesal seketika. Es krim? Dikiranya aku anak kecil apa?

Oke, di mata Mama aku memang selalu menjadi anak kecil yang harus selalu dilindunginya.

"Eh, Disa udah pulang," sapa sebuah suara yang membuatku terlonjak senang. Siapa lagi kalau bukan Kak Dita.

Aku mengeluarkan kertas ulanganku yang agak kucel karena aku terlalu kuat mengenggamnya.

"Nih liat," ucapku dengan bangga.

"Wah, biologi Disa dapet gede," kagum Kak Dita. Aku tersenyum lebar sambil melirik Mama.

"Kamu lebay deh, Dit. Paling juga Disa diajarin sama Arma," ucap Mama cuek. 

Tiba tiba aku teringat dengan Arma. Sudah beberapa hari ini rumahnya sepi, bahkan aku tidak melihat Chelsea di sekolah. Sepertinya hanya ada Bian di rumah itu.

"Eh iya, ngomong ngomong soal Arma. Beberapa hari ini rumahnya sepi terus ya," ucap Mama lagi, "Kayaknya keluarga mereka lagi pergi deh."

"Tapi di rumahnya ada Bian kok, Ma," kataku memberitahu Mama, "Kemarin aja aku main sama Bian. Dia sendirian deh kayaknya."

"Demi apa kamu main sama Bian?" seru Kak Dita sambil menggoyang goyangkan bahuku, "Kok kamu nggak ngajak sih? Eh kamu main apa?"

"Kemarin pas pulang sekolah, ada Bian di depan rumahnya. Trus aku diajakin main scrabble," ceritaku.

"Scrabble?" Aku mengangguk.

'Pasti dia nggak tau'

"Aku juga suka main itu. Kita main yuk Dis," ajak Kak Dita yang membuatku melongo. Ini sungguh di luar dugaan.

"Emang Kakak bisa?" tanyaku

"Bisa lah. Ayo main. Yang kalah traktir starbucks ya," ucap Kak Dita dengan riang. Aku melongo mendengar perkataan Kak Dita.

"Disa! Kok diem? Ayo." Aku hanya bisa mengangguk lesu.

Oke, selamat datang di starbucks dompet recehanku.

***

Mentari di ufuk timur mulai menampakkan sinarnya. Seakan mengajak siapa saja untuk memulai hari dengan semangat. Aku menyisir rambutku dengan riang.

Semoga saja hari ini beruntung. Tidak seperti kemarin.

Kalian tahu? Kemarin aku kalah main Scrabble!. Ah, pasti siapa pun sudah bisa menebaknya. Malamnya, Kak Dita menagih traktirannya. Alhasil dompetku yang tipis bertambah tipis.

Ehm, tapi bukannya kemarin aku juga beruntung? Bukannya kemarin aku dapat nilai 96? Kalau dipikir pikir, sepertinya keberuntunganku selalu diikuti kesialan, ya.

Ah sudahlah, jangan dipikirkan.

Ngomong ngomong hari ini Lana berangkat tidak, ya? Kalau Lana berangkat, aku akan minta traktir— berhubung uangku habis.

Kalau Lana tidak berangkat aku akan–ah ya! Kenapa aku tidak telfon dia saja ya?

Oke, otakku selalu lambat.

Nah! Sekarang aku sudah siap. Ayo berangkat!

***

"Disa! Apa kabar lo?" sapa sebuah suara ketika aku sampai di depan gerbang sekolah.

"Eh, ya ampun Lana. Norak lo, baru sehari nggak ketemu udah tanya apa kabar," cibirku

"Pinter ya sekarang udah bisa ngatain orang norak." Aku mencibir mendengar perkataan Lana. Jadi selama ini aku terlalu norak dan lugu?

"Capek banget gue, masa tadi bangun jam 6.20. Semalem baru pulang jam 12an." Aku mengeryitkan kening mendengar ucapan Lana. Dia bilang bangun jam 6.20? Sekarang kan jam 6.40, dia mandi nggak ya?

"Eh, ya, lo kemaren kemana?" tanyaku

"Halah, bilang aja kangen. Gimana ulangannya?" Lana malah balik bertanya.

Aku merogoh tasku lalu menyerahkan dua lembar kertas pada Lana. Satu milikku, satu lagi miliknya.

"Oh ... ini nilainya, ya?" tanya Lana yang kubalas anggukan riang.

Tanpa disangka, dia malah tertawa.

"Heh, gila lo ya. Kenapa ketawa?"

"Ini bener nilai lo? So what nilai gue kecil banget," ucapnya

"Beneran ini nilai gue. Lo harus traktir gue. Titik," ucapku

"Mana ada perjanjian gitu?" bantah Lana.

"Ada. Mulai sekarang," kataku lalu berlalu pergi meninggalkan Lana di gerbang sekolah.

***

"Lana lo kemaren kemana sih?" tanyaku saat Bu Indah menerangkan struktur teks dalam Bahasa Indonesia.

"Ada acara. Kak Dia tunangan," bisik Lana.

"Wah, Kak Dia yang yipi yipi itu?" tanyaku tak kalah berbisik.

"Lo udah gede juga masih bilangnya yipi yipi apaan," cibir Lana.

Kak Dia itu kakaknya Lana. Namanya sih Maudya, tapi kami manggilnya Kak Dia. Kak Dia itu dulu waktu SMA anggota cheers, kami sering lihat Kak Dia latihan. Karena yang teriakan cheers yang kami tangkap itu 'yipi yipi' jadi kami menganggap Kak Dia identik dengan itu.

"Eh ngomong ngomong, Kak Dia tunangan sama siapa?"

"Sama cowok lah. Tapi gue nggak tau siapa, soalnya kemaren cuma Bapak Ibu nya yang dateng," jelas Lana.

"Lah gimana sih, tunangan kok calonnya nggak dateng," tukasku.

"Bukan tunangan resmi sih, cuma baru perencanaan gitu. Dia lagi jagain neneknya yang sakit," jelas Lana lagi.

"Oh gitu ya, jangan lupa undang gue sama Mama ya," pesanku.

"Iya lah. Ibu gue sering nanyain lo tau, katanya lo jarang main," kata Lana.

"Disa! Lana! Diam!" seru Bu Indah dari depan. Ternyata sedari tadi Bu Indah masih menjelaskan

Apa dia tidak capek? Oh, bel istirahat, kamu lama sekali.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 01, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FortuneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang