Senja di Stasiun Kereta

244 28 4
                                    

Ada sesuatu yang seharusnya kamu tahu, bahwa setiap senja itu, aku selalu menanti kehadiranmu.

🚂🚂🚂

Hiruk pikuk ibukota bukan hanya di jalan raya saja. Di area pemberhentian kereta pun, para lautan manusia selalu memadati stasiun. Apalagi saat sore hari, waktu dimana para pekerja pulang ke rumahnya atau sekedar berpergian entah kemana.

Aku bersandar di pilar putih stasiun. Tangan kananku memegang ukulele dan yang kiri memegang bungkusan bekas permen kiss warna ungu yang sudah lama aku pungut di tempat sampah dekat supermarket.

Pandanganku hanya menatap lurus ke depan. Kosong, itulah yang menggambarkan fikiranku saat ini. Bukan hanya fikiran saja, melainkan perut ini juga sudah kosong dari shubuh sampai ingin menjelang maghrib kali ini.

Jangan tanya mengapa aku belum makan seharian. Aku memang sudah terbiasa menahan lapar ataupun haus, meskipun bukan saat bulan Ramadhan. Terutama untuk hari ini, aku sengaja memberikan semua hasil kerja kerasku, yakni bernyayi ria di sekitar stasiun dari pagi sampai petang hanya demi membeli obat untuk ibu.

Di bungkusan permen-tempat berjatuhnya berbagai jenis recehan alias belas kasihan orang-ini hanya ada dua logam bergambar angklung dan satu lembar bergambar Pangeran Antasari.

Empat ribu rupiah. Sebenarnya cukup untuk membeli sebungkus roti dan segelas minuman plastik yang kiranya dapat mengganjal perut. Tapi aku lebih memilih lapar sampai malam daripada membelanjakan uang empat ribu ku ini. Karena setiap hari aku harus bisa menyimpan uang sebesar tiga ribu rupiah dalam sehari. Jadi aku harus bisa memanfaatkannya.

Sekarang, aku tidak lagi bersandar lemas di pilar bercat putih itu lagi. Tubuhku terlalu lelah untuk berdiri sehingga perlu duduk dan bersandar di sebuah kursi.

Kursi yang tidak sama sekali di cat ini sekarang ku duduki. Hanya aku sendiri yang duduk di paling ujung kiri. Aku besandar lelah, tetapi mataku tak terpejam.

Selang beberapa menit kemudian, aku tersentak pelan. Aku merasakan kursi panjang ini baru saja bergetar, itu tandanya ada seseorang yang duduk di ujung sana pula. Ku tengok ke sebelah kanan, benar saja, ada seorang anak berseragam SMA tengah duduk di paling ujung kanan. Kamu seorang laki-laki.

Daripada bosan tak karuan seperti ini, lebih baik ku petikkan saja ukulele dengan nyanyian pelan.

"Katakanlah sekarang, bila kau tak bahagia, aku punya ragamu, tapi tidak hatimu..."

"Suara yang bagus."

Aku menghentikan permainan lagunya tepat setelah aku mendengar suara yang baru saja memuji suaraku. Ah, mana mungkin ada seseorang yang berkata bahwa suara ini layak untuk disuarakan. Aku sendiri tidak pernah menilai suaraku.

"Kenapa berhenti nyanyi nya?"

Yaps, kamu yang di ujung sana yang tadi memuji suaraku, dan sekarang kamu seolah-olah memintaku untuk bernyanyi lagi?

"Eumm, emangnya gak terganggu sama suara saya? Kakak kan lagi baca buku. Pasti besok ulangan kan?" aku berusaha berbicara meski gugup.

"Siapa yang ngerasa terganggu? Toh saya cuma baca buku fiksi, gak penting-penting banget lah. Emangnya orang yang hari ini baca buku, besoknya langsung ulangan? Enggak semua begitu, kali."

Ingin rasanya aku pulang atau lari ke toilet stasiun untuk membuang wajahku yang sudah memerah ini. Malu. Tengsin. Canggung. Apalagi?

"Oh gitu. Jadi kakak mau aku lanjutin nyanyi nya?" kamu mengangguk.

Ku petik senar ukulele lagi. Ketika aku ingin menyuarakan lirik pertama, tiba-tiba suara aneh yang ku yakin berasal dari perutku mulai berbunyi.

Antara menahan lapar dan menahan malu, aku hanya bisa mengatupkan mulut dan mata.

Heart to HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang