Penantian 3

196 10 0
                                    

****

Shilla beranjak meninggalkanku, menyusul Cakka yang memanggilnya dengan riang. As I expect, mereka berpacaran setelah cerita eskul dance yang dibuka tempo hari.

Mereka adalah pasangan yang serasi, saling mendukung dan menjalankan eskul yang mereka dirikan. Kalian tau, melihat Cakka, teman sekelasku yang sombongnya akut itu berpacaran dengan orang yang bisa mengalahkan egonya seperti Shilla.

Lucu melihat keduanya tertawa bersama, saling mendukung di belakang. What a romantic sight that I need to watch every single day. Cakka dengan posisinya sebagai ketua eskul basket dan Shilla sebagai ketua eskul dance adalah posisi yang sepadan.

Berhenti berhayal, Ify. Aku mengingatkan diriku sendiri. Aku mencoba fokus dengan keadaan sekitar yang semakin terik. Hari sudah menunjukkan pukul satu siang, anak – anak yang awalnya sibuk berenang mulai mendekati pondok untuk makan siang. Waktu cepat berlalu sementara aku masih di tempat yang sama.

Bicara tentang makan siang, aku menyiapkan bekal untuk diriku sendiri hari ini. Walau teman – teman sekelas telah menyiapkan catering, bukankah terasa lebih sehat membawa bekal dari rumah?

Aku membuka kotak bekal milikku dengan semangat, bayangan seseorang mendekat kearahku dan sangat kutahui siapa dia.

Jantungku berdegup kencang. Lelaki itu menyunggingkan senyumnya padaku, hal yang jarang ia lakukan sejak awal kami bertemu.

"Hai, Fy," Ujarnya begitu tiba di dekatku.

Aku mendelik, menatapnya kesal, "Panggil gue kak dong, kakak kelas ini," Kataku menekankan kata "kakak kelas".

"Yaelah, Fy. Kita seumuran juga," Jawabnya santai duduk disampingku dan mengambil snack milikku tanpa ijin. But really, do you know what thing make girl flutter? It ain't those flowers or chocolates they all talked about. This kind of gesture it is.

"Hei, duduk disini seenaknya dan sekarang ngambil snack gue, enak banget," Aku memberikan nada – nada kesal.

Cowok ini dengan mudahnya memberikan kekehan santai, "Galak amat sih mbak,"

Aku hanya mendelik kesal, bertanya - tanya apa yang ia lakukan ke tempatku.

"Pergi makan siang sana," Suruhku sembari mengusirnya. Ia masih santai dengan camilanku, astaga aku baru sadar ia tidak memakai atasan sedari tadi.

"Pakai baju sana," Jelas ia masih berbasah – basahan setelah berenang, membuat tempat duduk paling nyaman di tempat ini menjadi basah.

"Ntar gue mau berenang lagi,"

Aku menahan kesal dan menghela napas, "Terus gak makan?" Tanyaku.

Ia sepertinya paham dengan lirikanku yang mengarah ke teman dan adik kelasku yang sibuk mengambil makan siang mereka.

"Gue gak suka ayam," Jawabnya singkat.

"Terus? Gak mungkin lo gak makan, kan?" Ujarku kesal. Tolong garis bawahi rasa suka dan kesal, karena mereka adalah dua hal yang berbeda.

"Makan bekal lo aja, gimana?" Katanya enteng. For goodness shake, ingin rasanya aku menarik tangannya lalu mengikatnya ke pohon besar ini.

Begini – gini aku merupakan atlet karate sekolah, sebelum terlibat dengan dunia dance.

"Asal banget sih lo, terus gue gimana? Emang lo mau tanggung jawab, dan la-" Ia menghentikan ucapanku dengan memasukkan sebuah roti yang sudah dipotong kecil.

"Diem, atau gue ajak battle lo disini,"

Tangannya mulai meraih kotak bekal berwarna biru disampingku. Aku memutarkan mataku, selalu saja kata itu yang ia keluarkan ketika berdebat denganku.

Benar – benar mengesalkan. Tapi tetap saja aku masih menyukainya.

Memikirkan itu kepalaku berputar pusing, sepertinya aku telah salah menyukai seseorang.

***

Summer In Love (Finish)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang