"Hei, jangan pasang wajah seperti baru ditinggal mati suami begitu! Wajahmu itu jelek sekali," suara ketus itu membuyarkan lamunanku. Aku balik merengut menatap laki-laki yang duduk dihadapanku. Dia ini suka sekali mengejek dan menggodaku.
"Apa yang sedang kau pikirkan, hah?" tanyanya lagi tanpa memandangku. Fokusnya tetap ada mangkuk nasi yang terletak dihadapannya sambil menyumpit isinya sesekali. Aku tak menjawab untuk beberapa saat. Donghae benar-benar menepati janjinya tadi pagi. Ia pulang hanya untuk sekedar makan siang denganku di apartemen.
"Tidak ada. Aku tidak sedang memikirkan apa-apa," putusku akhirnya dan memilih mulai memakan nasiku. Aku baru sadar belum menyentuhnya sama sekali. Hah... nafsu makanku hilang. Ini semua gara-gara Wooyoung. Kenapa juga aku harus bertemu dengannya tadi? Sialan, bahkan hanya dengan mengingat namanya saja sudah membuat hatiku kembali merasa sesak.
Aku mengangkat kepalaku saat merasakan tatapan matanya yang menghujam ke arahku, membuatku risih. "Apa?" tanyaku ketus.
Ia tetap menatapku tajam dan memiringkan kepalanya. Seolah meneliti keadaanku. Oh, aku benar-benar tidak nyaman dengan ini, tatapannya seperti menelanjangiku dengan kedua manik matanya.
"Kau menangis?" tanyanya pelan, lebih terdengar seperti pernyataan bagiku. Kedua mataku membelalak. Dia tahu?
Seingatku saat pulang tadi aku sudah mencuci muka dan menggosok kedua mataku agar tak bengkak. Apa masih terlihat jelas di wajahku, ya? Aku pura-pura menyentuh wajahku dan bersikap tak terjadi apa-apa.
"Tidak. Aku tidak menangis, kok. Memang wajahku terlihat seperti itu? Mungkin aku kurang tidur," elakku.
Dia mencibir, "Kurang tidur darimana. Melihat tidurmu seperti babi itu..." ia menghentikan ucapannya saat melihat tatapan mematikan dariku, "lupakan saja. Aku punya sesuatu untukmu," ucapnya mengalihkan pembicaraan. Aku menaikkan sebelah alisku, sibuk menerka apa selanjutnya yang ingin ia berikan.
Ia menyodorkan sebuah kantong belanja berukuran sedang padaku. Aku mengernyit, menatapnya bingung. "Apa ini?"
"Buka saja sendiri."
Aku memeriksa kantong itu ragu-ragu. Seketika aku membelalak mendapati kotak ponsel di dalamnya. Kutatap ponsel touchsreen dengan casing biru di dalamnya dengan tatapan tak percaya. Ini kan ponsel tipe terbaru! Aku mengangkat kepalaku menatapnya dan betapa terkejutnya aku saat melihat ia tengah mengacungkan ponsel tipe yang sama denganku. Sama persis, bahkan warnanya juga sama.
"Bagaimana? Keren, kan?" ujarnya percaya diri.
"Ini... untukku?" tanyaku, masih tak percaya.
"Tentu saja. Lalu kau pikir untuk siapa, hah?" jawabnya ketus seraya mendengus, "kau suka? Kupikir memang sudah seharusnya kau punya ponsel. Jadi aku bisa menghubungimu kapan saja," lanjutnya sembari tersenyum kecil.
Aku mengabaikan ucapannya, "Akan lebih bagus kalau warnanya gold," aku pura-pura memasang wajah biasa dan mengeluh. Padahal aku langsung jatuh cinta menatap ponsel di tanganku ini. Tapi tetap saja aku tak akan mengatakannya terang-terangan padanya, bisa-bisa ia besar kepala.
"Hei! Kau ini! Seharusnya kau bersyukur aku sudah mau membelikan ponsel baru untukmu! Bukannya berterima kasih, kau masih menggerutu juga," sungutnya. Aku nyaris tertawa melihat ekspresi kesalnya itu, tapi kutahan mati-matian.
"Aku tak minta, tuh," ucapku acuh, membuatnya mendelik padaku. Aku menghela napas. "Iya... iya... terima kasih ya, Oppa..." ucapku semanis mungkin dan memasang wajah sok imutku. Aku akhirnya benar-benar tertawa saat melihat ekspresi horornya padaku.
"Hentikan. Itu menjijikkan," katanya dengan ekspresi geli.
Aku menyahut, "Nah, itu kau sudah tahu."
KAMU SEDANG MEMBACA
NG Life
FanfictionSudah terusir dari rumah, lalu mendapati kekasihmu selingkuh dengan sahabatmu sendiri. Sekarang, kau menemukan seorang laki-laki asing memeluk tubuh setengah telanjangmu di atas ranjang saat pagi hari. Ya Tuhan, apa lagi ini?