Kesaksian Tiga

60 5 0
                                    

Tengah hari. Surya sedang terik-teriknya sekarang. Sementara aku bermandikan debu di dalam bilik. Kenapa? Tentu saja perihal press yang kerap menuntutku untuk menyelesaikan omong kosong ini sesegera mungkin.

Semua menekanku. Semua seolah tak menginginkan paru-paruku untuk merdeka. Bahkan untuk menghirup debu pun aku tak diizinkannya. Air mata yang kuhasilkan berganti kotoran. Saking lamanya aku tidak menangis, aku jadi lupa caranya. Maka kubersihkan saja kotoran yang menempel pada mataku. Lalu kusempatkan diriku untuk mengadu pada tuan dan puan lewat lembaran lusuh ini.

"Inggris ingin aku bekerja untuknya. Apa boleh?" Aku menerka-nerka air muka yang akan ditampilkan oleh Abak, kepala panti asuh yang sampai saat ini masih bertanggung jawab akan hidupku.

"Hm?" Cengiran yang diselipi cemeeh tertuju padaku. Memang, sedari aku kecil Abak tak pernah memujiku. Apa pun yang kulakukan. Ia tak pernah memujiku, apa lagi bangga denganku. Di mata Abak, aku hanya satu dari sekian anak panti asuh yang gemar berkhayal. Dan melamun. Yang diingat hanya kekuranganku. Yang dikumpulkan dalam arsip otaknya tentang diriku hanya dosaku. Dia waliku atau malaikat yang mencatat amal burukku?

"Kenapa pula kau bertanya. Kau tahu jawaban Abak apa." Ia mengecek jam dinding yang ada di ruangan. Aku termangu. Manikku kebingungan mencari poros tatap.

"Tapi Bak, aku ingin mencoba. Aku ingin mencoba bekerja untuk inggris, karena aku sudah bosan-"

"Sudah bosan dengan Jepun? Eheh, jika dengan Jepun yang dekat dengan kita saja kau bosan, apa lagi dengan Inggris, Ai? Kerja dengan mereka akan menguras tenaga yang sangat banyak! Bisa-bisa kau mati. Ah, badan kau saja tidak atletis. Kena rinai, sakit kau. Kena badai, pingsan kau. Apalagi itu?" Nada cemeeh yang keluar semakin kental. Aku semakin kehilangan kuasa. Kututup rapat moncongku yang tidak merdeka ini lalu kutahan kelopak mataku atas acara jatuhnya air mata.

Susah payah kubangun senyum yang tak pernah kutunjukkan sebelumnya. Sekalipun pada Kaffa. Senyum getir yang bahkan lebih getir dari pare muda yang kau kunyah, kutujukan pada Abak.

"Tercengang aku, Bak. Ternyata kau boleh juga peduli pada badanku." Lantas kedua tungkaiku menuju bilik. Tidak, tidak mengurung diri. Rumah kami terlalu mewah jika pula kami punyai bilik yang dapat dikunci.

Aku putuskan saja untuk terlelap. Meski tak bisa, kerap kupaksakan. Karena masa ini bahkan bukan menjadi kebebasanku untuk memilih tidur atau tidak.

Ah, bedebah. Teringat pula aku akan tuntutan press sedetik yang lalu. Sudahlah. Mau dipecat setelah ini pun aku tak apa. Mungkin boleh kucoba untuk menghamburkan diriku saja ke medan perang.

Maka mungkin tuan dan puan terheran-heran, mengapa sejak tadi aku tak mengumandangkan kesaksianku mengenai Kaffa. Aku sedang temberang dengannya. Dia berbuat ulah. Dia set dirinya dengan salah satu nonik Jepang agar nonik pribumi tak mengganggunya lagi.

Dasar dungu! Justru kau hanya akan menambah masalah lainnya. Lebih-lebih pagi ini ia minum cairan asam yang jelas tak elok untuk perutnya yang letoy itu. Tapi ia tak pernah mendengarkan aku. Yang ia pedulikan hanya maunya. Hanya maunya saja. Sial. Mataku basah. Kupikir tadi aku hanya mampu menghasilkan kotoran mata. Kenapa pula ada air di wajahku?

Memang Kaffa dungu. Tidak pedulian. Tidak pernah tahu apa yang aku rasakan dan apa yang aku inginkan. Tapi kau juga dungu, Ai.

Kau tetap saja... tak bisa membencinya.

UNFAKETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang