Akhir dari Kesaksian

56 2 14
                                    

Tengah malam. Tujuh belas Agustus sembilan belas empat puluh lima. Barulah sampai beritanya kepada kami bahwa bangsa ini telah merdeka. Sedari awal, kampung Jambak memang tidak begitu populer di tengah massa. Letak kami pun jauh dari pusat kota. Pantas saja kami selalu terlambat dalam menerima segala kabar.

Semua insan bersorak-sorak. Entah sejak kapan mereka lenyap, tetapi kami temukan seluruh markas Jepang telah kosong saja. Bukan main senangnya kami hancurkan seluruh markas kepunyaan mereka. Kami porak-porandakan semaunya. Melampiaskan segala amarah yang tertahan sekian bulan atau bahkan tahun lamanya.

Lalu di manakah aku? Aku sedang sibuk mengumpulkan kertas-kertas lusuh lagi usang yang kujadikan tumpuan kesaksianku. Bilikku telah berkawan dengan sarang laba-laba dan serangga lainnya. Sekian tahun kutinggalkan, kupikir tadinya akan lebih kumuh dari bentuknya saat ini jua.

Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan. Ah, kala itu ada kesaksian tambahan yang kubuat beralaskan amarah. Di mana, ya? Apa tertinggal di dalam penjara? Tidak mungkin. Aku yakin aku telah membawa semuanya saat hari terakhir aku meninggalkan sel.

Lalu di mana? Apa tercecer sebab tempat ini sudah sering diacak-acak sekutu? Aku tidak putus asa. Aku terus mencarinya. Kubongkar-bongkar ke sana ke mari. Oh?! Apa itu? Mungkinkah...?

Kesaksian Tak Diduga

Hm? Apa ini? Kubolak-balik sejumlah kertas yang sudah remuk dan amat lusuh itu. Dan pada halaman terakhir, kutemukan namanya. Nama si tuan.

Lantas pikiranku kembali melayang. Apa kabar tuan itu saat ini? Aku tahu, ia sudah tak lagi berdiri di tanah bangsa ini, tetapi tidak bolehkah kabarnya pun untuk kuketahui? Dengan lemas, kutorehkan saja senyum getir. Lantas kesaksian miliknya kugabungkan dengan kesaksian yang kupunya.

Oh, apa itu yang sedang digigiti oleh si pengerat di ujung sana?

"Hush! Shuu!" Kuusir paksa seekor tikus yang kelaparan itu. Lalu kuambil alih atas apa yang ia gigiti sedetik yang lalu.

Ketemu. Itulah kesaksianku lainnya yang tadi susah payah untuk kutemukan. Lantas kusatukan mereka semua. Lalu kuikat dengan benang. Tentunya kuikat bersamaan dengan kesaksian terakhir ini, nantinya. Entah berguna untuk bangsa entah tidak. Yang jelas, setidaknya catatan hidupku ingin kusimpan rapat-rapat dan kukenang lekat-lekat.

Tuan dan puan, inilah akhir dari kesaksianku. Agar rasa penasaran tuan dan puan agaknya berkurang, akan kubeberkan mengenai satu hal.

Kala itu, ketika si kapten mengirimi aku surat, aku sempat menuliskan balasan suratku untuknya. Bunyinya,

'Aku tidak akan menunggumu.
Aku tidak akan mencari tahu tentangmu.
Aku juga tidak akan penasaran akan keberadaanmu.
Bahkan kalau memungkinkan, aku tidak akan lagi memikirkanmu.
Jadi, tuntaskanlah peranmu.
Dan ketika kau menyadari, bahwa sudah tak ada lagi tempat untukmu di sana, maka aku yakin... kau tahu jalan pulang ke arah mana.

Aku hanya akan, berada di sini. Seterusnya.'

Lalu surat itu, tak pernah kukirimkan padanya.

***

UNFAKETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang