Kesaksian Tujuh

49 4 0
                                    

Sembilan belas empat puluh empat. Masa ini aku tak lagi berkawan dengan mesin tik, tetapi hanya sejumlah lembar kertas dan bolpen. Di balik jeruji aku tuliskan kesaksianku, bersama kakiku yang pincang.

Tuan dan puan tentu bertanya-tanya. Mengapa sejak kesaksianku yang terakhir, bertahun-tahun aku tak lagi menuliskannya. Seiring menuanya diriku dan penderitaan bangsa ini, semua pihak menghalangiku untuk menulis.

Masa itu dalam keadaan pincang, aku dijual pada Jepang. Sebab aku telah cacat, tak mereka gunakan aku seperti khalayak puan lainnya. Mereka menghentipaksakan pekerjaanku yang terikat pada pers. Berkat aku, semua penulis lokal diberhentikan. Lalu dipenjarakan. Dan kami dicap sebagai subyek yang membahayakan bagi Jepang.

Lantas semua kutukan dan umpatan mengalirlah padaku. Sebab ulahku membawa susah bagi mereka. Aku bahkan tak mendengar lagi kabar dari Mak dan Abak. Yang sukarela berbagi kabar pun tak ada. Aku merupakan musuh bagi Jepang dan bagi bangsaku sendiri.

Otakku membeku untuk berpikir selama tiga tahun ini. Yang silih berganti menyapa gendang telingaku hanyalah kabar-kabar baik lagi menguntungkan Jepang. Di sini telah dibangun lubang Jepang dari sana ke sana. Di sini telah disiapkan pertahanan untuk memperkerjakan pribumi hingga titik darah penghabisan. Di sini ada cabang baru rumah hiburan berisi wanita-wanita pribumi yang rupawan.

Kira-kira begitulah.

Sebab makanan yang masuk ke lambungku tak mengizinkanku untuk berpikir lebih jauh. Sebab yang mampu kujangkau dalam ingatanku hanya untuk bertahan hidup, dari pagi ke siang, siang ke petang, petang ke malam, lalu malam ke pagi.

Berapa banyak pribumi yang tewas hari ini? Berapa banyak sekutu yang mati? Tak ada yang bersedia memenuhi keingintahuanku.

Sementara aku tak seperti dulu lagi. Jika dulu rupaku sengaja kubuat buruk, maka kini rupaku alami telah buruk. Penjaraku amat kumuh. Segala serangga bersedia menggerogoti kulitku. Saking laparnya mereka. Jika dulu kakiku sengaja kupincang-pincangkan, agar mereka mengira aku cacat, maka kini aku memang pincang. Aku yang membuat diriku cacat.

Ada hal yang kulalui beralaskan keegoisan. Ada hal yang kupaksakan beralaskan rasa sakit yang kurasakan.

Aku, menyakiti tentara itu.

Aku mengetahuinya, namun aku tetap menyakitinya. Sebab kala itu aku merasa sakit, lantas kupikir aku pun harus menyakitinya. Demi perasaan bodohku, aku rela melenyapkan satu pribumi (yaitu diriku) dan menyakitinya dengan caraku. Berkat aku, sudah kutanamkan dalam-dalam dalam hatinya sebuah luka yang agaknya mustahil untuk ia sembuhkan. Berkat aku, ia justru menjadi semakin kejam akan hidupnya dan memutuskan untuk tak lagi bergantung pada siapapun.

Hal itu kuketahui, setelah aku mendengar kabarnya kemarin malam. Sungguh, aku bersalah dan aku tak semestinya dimaafkan.

Tak tergambar olehku, apa yang terjadi dengannya setelah aku berdiam di balik jeruji. Bagaimana aku bisa tahu, aku yang meninggalkannya. Bukan ia. Karena masa itu aku sungguh yakin akan keputusanku, bahwa ini yang terbaik untukku. Karena kala itu aku sungguh percaya akan pilihanku, bahwa berada di seberangnya adalah hal yang mesti kutempuh.

Namun dari kabar yang kuterima, aku tak dapat bersikeras lagi dan sepakat bahwa aku telah menyakitinya. Aku membuatnya memilih untuk membunuhku, atau membunuh dirinya sendiri. Itulah pilihan yang kuberikan kala itu.

Itulah kebodohanku. Sebab aku lupa bahwa aku pernah memintanya untuk tidak meninggalkanku. Sebab itulah ia memilih untuk menyerahkan aku pada Jepang, kala itu.

Aku terhenyak selepas mendengar kabar. Kubiarkan sekian ekor nyamuk menggigiti betisku, sebab terlalu lemah untuk mengusir mereka saat ini.

Ia, tentara yang tiga tahun lalu kubuat susah hidupnya, kini justru menjadi pemimpin utama dari segala pasukan Jepang di tempat kami. Segala ulah, segala perangai yang ia buat, itu semua bertujuan untuk menunjukkan betapa sakitnya ia. Sebab hari-harinya dipenuhi amarah yang tak lepas, dan ia tak tahu harus bermuara ke mana.

Tak terasa pipiku pun basah. Ini kali pertamanya aku menangis setelah masuk mendiami ruangan ini. Kian lama kian deras. Buru-buru kusingkirkan kertas-kertas berhargaku, sebab ia tak boleh basah oleh air mata.

Maka aku menyesal.

Mengapa aku begitu egois? Mengapa aku lakukan itu padanya? Ia hanya, seorang tuan yang ingin hidup. Apa kesalahan yang benar-benar ia perbuat padamu, Ai? Kau yang tidak bersyukur selama ini. Kerjamu hanya mengumpatinya, dengan seluruh kekurangannya. Sementara, kau sendiri bagaimana? Apa kau pikir, kau lebih baik darinya?

Tidak.

Kau tidak lebih baik darinya. Sekian tahun, ia berkawan denganmu, tak pernah sekalipun ia tidak menerimamu. Tak pernah sekalipun, ia memprotes, akan sisi tertentumu yang bahkan mungkin tak dimengertinya. Lantas, mengapa kau tidak dapat menerimanya, seperti ia menerimamu, Ai? Mengapa kau selalu berkomentar, padahal ia tak memintanya.

Ia, hanya ingin diterima, sebagai dirinya sendiri.

Tidak banyak, Ai.

Ia bahkan tidak tamak.

Ia, hanya ingin diterima, sebagaimana dirinya.

Mengapa itu sangat sulit bagimu? Sebab, kau puan yang sama kerasnya dengan batu. Sebab kau pun tak pernah benar-benar melihat apa usahanya, apa yang ia korbankan, apa yang ia tempuh untuk mendengar semua ocehanmu.

Karena kau tahu, untuk seorang sepertinya tak mudah melakukan semua itu.

Tapi ia melakukannya, karena ujaranmu. Tidakkah rasanya kau sangat keterlaluan waktu itu, Ai?

Ya, aku tahu. Kala itu, akulah yang bersalah. Tiga tahun mengkomakan diri dalam penjara membuatku menyadari segalanya, betapa egoisnya aku. Karena ternyata, bukan ia yang tak ingin mengerti akan dirimu. Namun ternyata, kau lah yang berusaha mati-matian untuk memanipulasi dirimu.

Sayangnya, kertasku hampir habis, maka jatah kertas berikutnya akan kuterima esok hari. Kudengar, kepala dari rumah tahanan ini telah diganti dan akan mengirimi penggantinya petang ini. Siapa pun ia, tidak akan ada dampaknya padaku. Sebab sisa hidupku jelas akan kuhabiskan di sini.

Namun kegaduhan kudengar dari ujung lorong kanan. Seolah seseorang yang penting telah datang.

Maka ikutlah aku, menolehkan kepalaku. Menjangkau sorotan terujung yang bisa diraih oleh bola mataku.

Awalnya kabur. Sebab air mataku masih tersisa. Namun lama-lama kian jelas, kian tampak rupanya. Seorang tuan gagah berseragam serba putih bersih dengan sekian insan lain di belakangnya, mengekori langkahnya.

Ah, mungkin... mungkin itulah kepala rumah tahanan yang baru. Dapat kutebak dari gerak-geriknya.

Ya, mungkin...

...hm? Sebentar. Itu?

...apa aku salah melihat? Itu kan...?

(Kertas Ai telah habis.)

UNFAKETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang