Kesaksian Tak Diduga

45 3 0
                                    

Ini bukan masanya kami untuk memilih, hendak makan atau tidak. Ini bukan tempatnya kami untuk menentukan, betah hidup atau tidak.

Lembaran lusuh ini kutemukan di dalam barak, yang rupa-rupanya dilengkapi pula dengan mesin tik usang di sampingnya. Aku pun tak begitu ingat sejak kapan aku memiliki kertas. Mungkin mereka ini adalah barang kepunyaan Ainun yang tertinggal semalam.

Aku tak biasa menulis. Pikirku ini akan membosankan, ternyata tak jua. Bunyi mesin tik yang lantang agaknya membuatku ketagihan. Jika salah ketik, aku bisa menimpalinya dengan huruf x, asyik benar. Bukan sekali dua kali aku mendapati Ainun dengan gairah yang membara saat duduk di depan mesin tik ini. Kepalanya menekur, fokus terhadap kertasnya. Lalu kadang ia cekikikan, seolah sakit jiwa. Sementara jarinya bercuap-cuap, menyuarakan yang tak tersuarakan oleh bibirnya.

Ha! Ia pikir aku tidak tahu? Bahwa ia senang menyimpan segala sesuatunya dariku. Jelas, ia tidak mau berbagi. Puan pelit, sama saja kau dengan Jepang. Tapi tak apa, aku pun sama dengan kau, Ai. Aku juga menyimpan segala sesuatunya darimu.

Pukul lima lewat dua puluh tujuh. Perang melawan pribumi pun kubuat usai. Aku keluar dari peperangan! Biar mereka puas. Sebab sumber masalah telah menyingkir, dan aku telah membebaskan diriku sendiri dari jerat yang menahanku sejak beberapa pekan ini.

Tetapi agaknya tak jaran ke mana pun aku melangkah, masalah selalu riang mengekoriku. Seolah, seperti dicekek leherku, lalu baru akan bernapas aku, ia cekek lagi. Seakan-akan memberiku waktu yang berat adalah bagian dari rutinitas hari-hari mereka.

Ada satu, puan berdarah biru. Joanna namanya. Ia cantik, pintar, keturunan bangsawan. Jelas puan itu sempurna bagi sejumlah umat. Puan itu kena hati padaku, padahal bercuap saja kami tidak. Hanya sepasang manik yang sekian kali bertemu, lalu kuakhiri dengan acara buang muka. Malam ini aku dicegatnya. Masih dengan seragam yang kumuh aku ditariknya, lalu ia dorong aku menghantam dinding beton sebuah rumah.

"Tidak peduli bagaimana pun aku dipermainkan oleh kau. Aku akan tetap menyukai kau, bagaimana pun itu."

Ia bicara dengan moncongnya yang mengeluarkan bau alkohol. Oh, mabuk dia. Lantas ia tersedu-sedu, ia pukul-pukul dadanya sebab dikata terasa sesak. Layaknya tuan yang normal aku tidak akan bisa tenang jika seorang puan menangis di depanku. Masa bodoh dengan kepalsuan yang selama ini kubangun rapat-rapat. Di sini tanggung jawabku dinantikan.

Aku terpaksa menepuk-nepuk pelan pundaknya. Demi menyelamatkan nyawaku juga. Sedetik yang lalu terlintas di benakku untuk lari dan meninggalkannya. Namun kemudian teringat olehku pangkat Ayahnya di atas sana. Aku jelas akan dikatai gila jika aku berani berbuat sejauh itu pada si puan.

Aku bungkam saja. Kututup rapat-rapat bibirku dan kubiarkan saja tanganku berbicara.

"Kau boleh benci aku, tuan sinting. Tapi aku tidak akan membencimu. Sebab aku, akan selalu menyukaimu." Oh tidak. Ia keluarkan lagi jurus-jurusnya yang sudah mati-matian kuhindari. Aku tidak menggeleng, pun mengangguk. Kukosongkan saja pandanganku dengan sekelebat pemikiran yang menggelantung.

Apa yang salah dalam hidupku, mengapa ini seolah terjadi beruntut? Aku jengah. Aku juga mendambakan kebebasan. Bahkan jika tuan dan puan tahu apa alasan aku berdiri di atas permadani Jepang ini, kuyakin kalian semua enggan meludahiku.

Ah, mesin tik ini semakin membuatku ketagihan. Seolah menuntutku untuk menyentuhnya lebih jauh dan lebih lama. Ini bukan pertanda baik. Bisa-bisa kukemukakan yang tidak penting-penting di sini. Tapi biarlah. Entah di masa apa pengaduanku ini akan sampai di mata kalian. Namun sekiranya kini aku hanya membutuhkan pelipur lara.

Sempat aku pernah berpikir, bagaimana jika usahaku ini sia-sia? Bagaimana jika acara penghambaan diriku pada Jepang justru tak berbuah hasil? Sementara aku di sini masih dapat duduk tenang, bagaimana dengan insan lain di luar sana?

Aku ingin merenungkannya. Merenung berlama-lama. Namun sia-sia saja kurencanakan semuanya. Waktuku dalam sehari akan selalu tak cukup untuk kulakukan apapun yang kuinginkan. Lagipula apa yang kuharapkan? Hidupku bahkan bukan kepunyaanku lagi. Aku menyedihkan, kah?

Terkadang aku iri dengan Ainun. Ia lebih merdeka dari pada aku. Sebab ia yang memilih untuk melanjutkan hidupnya dengan jalan itu. Bahkan, sedari dulu saat di panti asuh pun Abak dan Mak selalu lebih memerdekakan Ai dari pada aku. Mereka biarkan puan itu melamun sebebasnya, dan akan bepura-pura terheran jika aku yang melakukannya.

"Kaffa? Sakit, nak?" Mereka tuduh pula aku sakit saat melamun. Padahal, aku kan juga butuh waktu untuk berpikir!

"Ai! Hah... melamun lagi, melamun lagi kau. Sudahlah! Melamun saja sepuas kau sana! Semoga saja masa depan kau muncul dari lamunan kau, ya." Malah Ai didoakan hal baik saat melamun. Benar-benar, tidak adil bagiku.

Kokok ayam bersahut-sahut turut mengusik indera pendengaranku. Semakin tinggi fajar, maka semakin banyak aku berkawan dengan bebunyian. Sekian menit yang lalu hanya mesin tik. Kini sudah bertambah kokok ayam. Sebentar lagi, mungkin bunyi air yang ditimba dari sumur sebelah.

Pantas saja Ai senang menulis. Ternyata rasa ini yang puan itu nikmati sendirian. Rasa lepas yang seperti dahagamu terpuaskan. Tapi aku tahu menulis bukan bahagianku. Lahanku ada pada lahan sesungguhnya. Biarlah benakku kusematkan di suatu tempat yang lebih membutuhkannya, dan akan kukuras habis-habisan apa pun yang aku mampu untuk memerdekakan semua insan.

Ya, ya. Tuan dan puan akan sepakat niatku konyol bukan main. Tetapi aku memang bukan sedang main-main. Sebab sekali aku berujar, sejatinya aku enggan berpanjang lidah.

Tuan dan puan, kupikir bebunyian yang akan berkawan denganku adalah bunyi air dari sumur yang ditimba. Ternyata aku salah. Bunyi berikutnya datang dari lambungku, yang tak kuisi sekian waktu.

Sekiranya sudah ada pula peminta-minta yang hidup di dalam lambungku. Lalu sejejeran cacing bebaris rapi di sepanjang ususku. Mereka membuat paduan suara, seperti di gereja-gereja yang tak kuketahui makna bahasanya.

Oh, sial pula aku. Keram otot jariku. Sepertinya ini akhir dari kesaksian tak diduga dariku. Usah kalian membacanya dengan nada pilu. Sebab aku harus sesegera mungkin mengisi lambung, jika aku masih memilih untuk menyelamatkan nyawaku.

-Kaffa, 1941.-

UNFAKETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang