Kesaksian Delapan

39 3 0
                                    

Kukumpulkan selama lima hari lamanya untuk lima lembar kertas. Bolpenku masih baik, masih elok untuk kupakai menulis berkali-kali.

Lima hari sudah berlalu sejak kutulis kesaksianku yang terakhir. Yang sekiranya masih menimbun keingintahuan dari tuan dan puan, mengenai pimpinan baru untuk rumah tahanan kami ini. Alamak. Sudah 'kami' pula yang keluar dari mulutku. Mungkin akibat tiga tahun beronggok di sini. Sudah merasa senasib saja dengan penghuni lain di sel kumuh ini.

Seperti yang tuan dan puan sudah terka-terka, Kaffalah pemimpin baru itu. Kala itu rambutnya disemir. Rapi benar. Badannya tak lagi kurus, sudah lumayan berisi kulihat. Namun dapat kuragukan elok tidaknya penglihatan si tuan. Sebab pada sorot matanya tak kutemukan lagi kemungkinan akan ia untuk mengenaliku.

Sebab rupaku pun telah menyerupai Mak Pono. Buat tuan dan puan yang tidak tahu, Mak Pono adalah ibu-ibu terkenal di daerah sini yang sudah kehilangan akal sehatnya. Sehingga ia lebih merdeka dari kami-kami sekalian yang ada di balik jeruji. Tidak ada lagi yang berani menganggu Mak Pono sebab jiwanya saja sudah cukup terganggu.

Padahal, kala itu aku jelas-jelas menatapnya. Padahal, kala itu ia jelas-jelas pula bertemu tatap dengan mataku. Tetapi ia gunakan acara buang mukanya yang amat terkenal itu. Lantas sekian insan berseragam sama mengikutinya lebih sigap dari yang sebelumnya, sebab si tuan semakin membesarkan langkahnya.

Maka kesepuluh jemariku memegangi jeruji dengan tubuh yang bergetar. Tidak percaya akan apa yang baru saja kusaksikan. Kembali sepasang mataku memaksimalkan pandangannya hingga poros terujung yang dapat dijangkaunya. Hingga pintu besi di sebelah kiri sana berdentang keras. Ketika itu aku tahu, sang pemimpin sudah meninggalkan lorong kumuh ini.

Aku kembali terhenyak pada permukaan ubin yang dingin lagi kumuh. Mungkin selama ini aku salah. Amat banyak salah. Beberapa tahun yang lalu aku masih amat yakin bahwa aku selalu mengetahui apapun yang ada di dalam pemikiran seseorang. Aku selalu merasa itu adalah sesuatu yang dapat kuketahui, meski tanpa mereka beberkan pada kupingku ini.

Ternyata, itu tidak benar. Aku sama egoisnya dengan manusia lainnya, yang berikrar bahwa aku mengetahui segalanya. Ternyata tidak. Aku tidak mengetahui apapun selama ini. Yang keluar dari kesaksianku, hanyalah pendapatku. Hanyalah sudut pandangku, bukan sudut pandang mereka.

Semua-semua yang keluar dari mulutku dan jariku, hanyalah terka-terkaanku, yang kubuat untuk menyamankan diriku dalam neraka yang kubuat sendiri. Karena sejatinya hanya Tuhanlah yang tahu serba-serbi kehidupan. Kenapa pula aku harus repot-repot menerka, sementara aku belum yakin apakah itu benar adanya atau tidak.

Pantas saja, kala itu Kaffa melarangku untuk berkata 'aku mengerti' atau 'aku memahamimu'. Sebab ia merasa, aku belum mengerti apapun tentangnya. Aku belum memahami apapun tentangnya. Aku hanya, menduga-duga, dan menyimpulkannya dengan caraku sendiri.

Beruntunglah aku bertemu dengan hari ini. Beruntunglah hari ini sampai pada garis hidupku. Jika tidak, mati penasaranlah aku. Mengapa begitu lama untukku menyadari semuanya? Mengapa? Apa benar aku sedungu itu? Apa benar, inilah warnaku yang sesungguhnya?

Aku termangu, dan membiarkan diriku tenggelam dalam kolam pemikiranku sendiri. Rasanya hidup jauh lebih indah ketika Abak dan Mak memerdekakan aku untuk melamun dan berkhayal berlama-lama. Dan ketika sudah tak ada lagi hal yang bisa kukhayalkan, sepiring besar ubi rebus akan menantiku di ruang tengah. Seolah memanggil-manggil untuk kukunyah.

"Apa?"

Suatu malam suara itu tiba-tiba menyapaku. Suara yang amat familiar, yang rasa-rasanya mustahil untuk kulupakan. Sebuntu-buntu apapun otakku, namanya akan selalu muncul di dalam ingatanku ketika aku mendapati suara itu.

"Fa-" seraknya suaraku dapat menjelaskan sudah berapa lama aku tidak meneguk cairan.

"Ada apa mencariku?" Ia langsung pada intinya, seperti biasa. Memang, setelah menyadari bahwa si pemimpin baru adalah dia, aku kerap meminta-minta pada siapapun petugas yang lewat, untuk aku dipertemukan dengannya. Aku bahkan harus menerima beberapa pukulan dulu untuk mencapai tahap ini.

Hal ini jelas tak bisa kusia-siakan. Lama aku berpikir. Apalah yang mesti kuucapkan padanya. Apalah yang sekiranya akan dapat berterima di dalam otaknya. Meski ragu, kucoba mengujarkan apapun yang muncul kali pertama dalam otakku.

"Aku rindu..." ujarku susah payah pada akhirnya. Memang, dasar dungu. Jika kau hanya akan berkata begitu lantas mengapa kau biarkan mereka menyakitimu dahulu?

Tetapi saat itu aku sadar, seorang pimpinan yang dipilih oleh Jepang memanglah bukan seorang yang bodoh. Ia amat cermat. Bahkan untuk situasi konyol saat ini, ia tahu bahwa bukan kedunguankulah yang sebenar-benarnya ingin kusampaikan.

Terbukti dari jawaban yang ia berikan padaku. Lama sebelumnya ia terdiam, memikirkan dengan matang apa yang semestinya ia ujarkan.

"...aku juga." Lantas ia membuang muka, sekaligus mengecek ulang adakah insan lain yang menyaksikannya di sekitar sana.

Maka bibirku kehilangan kata-kata. Mendengar hal itu darinya terasa lebih melegakan daripada segelas air yang mereka semburkan ke mulutku. Senyum hangat tanpa sadar mencuat dari sela garis wajahku.

Lalu detik berikutnya kuhabiskan saja dengan menatap si tuan. Menyampaikan secara tak henti-hentinya, betapa aku merasa bersalah akannya lewat sorotan mata.

Sayangnya, ia tidak membalas tanyaku. Ia biarkan rasa penasaranku tergelantung di suatu tempat, dan ia tutup rapat-rapat akan hatinya dariku. Biarlah. Kuanggap ini hukuman alam padaku. Aku telah secara sadar menghakimi seorang insan sekian tahun yang lalu. Maka kini, sudah waktunyalah alam yang menghakimiku, bukan? Usai menggantungkan keingintahuanku sang pemimpin beranjak dari depan sel milikku.

Dan ternyata benar apa yang aku duga, aku sungguh tak mengetahui apapun tentangnya, duhai tuan dan puan. Lima hari yang lalu, kusimpulkan ia tak lagi mengenalku. Dua hari setelahnya, kudapati ia datang ke hadapanku dan masih bersedia bercuap denganku. Dan tiga hari setelahnya, (yaitu hari ini) sang pemimpin justru dengan resmi telah membebaskanku.

Benar, ini akan menjadi hari terakhir aku menerima kertas sebanyak satu lembar per harinya di tempat ini. Sungguh, aku sudah tidak sabar untuk menerima lebih banyak kertas dari pers, dan menulis sebebas yang aku mau bersama mesin tik bobrok itu.

Namun, ada satu hal yang agaknya masih terngiang di telingaku saat ini.

"Saat ini, aku tidak mempunyai teman. Jadi, kau bebas bukan karena temanmu. Tapi memang karena kau boleh bebas."

Apa benar, aku bukan lagi temanmu, Kaffa?

(Kertas Ai berlebih seperempat lembar, lantas ia buat sebuah gambar. Kembang gula berbentuk ayam, ada tangkainya.)

UNFAKETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang