Kesaksian Satu

124 7 0
                                    

Izinkan aku bersaksi akan apapun yang kudapati darinya. Izinkan sepuluh jariku menari di atas mesin tik yang berdenting lantang sembari aku meneriaki suara hati. Terlalu jauh, bahkan tak satupun insan yang percaya bahwa aku mengetahuinya. Aku benar-benar mengetahui apa yang ada di pikiran mereka. Namun buru-buru mereka menepis dugaan mereka. Setiap insan yang kujumpai lebih memilih untuk menyamankan diri dalam neraka yang ia buat sendiri.

Jepang masih menguasai negara yang baru mengenal gaun dan jas ini. Menulis merupakan pekerjaan yang hadir untuk kepentingan mereka dan untuk kepentingan perutku. Saat ini aku sedang dalam waktu istirahat yang amatlah singkat. Kugunakan waktu yang singkat ini untuk bersaksi pada kalian, seperti biasa.

"Puan, tak hendak kau beranjak dari bangkumu itu?" Sudah ketiga kalinya aku diteriaki. Niat mereka baik, tidak ingin aku mati kelaparan. Tetapi memang yang hendak diisi itu tak ada.

"Lanjutlah dulu. Aku tak hendak beranjak!" Teriakku balik. Lantas tiga bayangan insan tersebut lenyap, entah ke mana setelahnya.

Maka mungkin tuan dan puan masih bertanya, siapakah sosok yang kumaksud pada awal cerita. Hal apa yang akan kusaksikan dalam lembaran kuning ini pada kalian. Tak apa untuk merasa penasaran, naluri itu ada pada setiap insan. Sebelum aku membawa kalian lebih jauh, izinkan aku mengenalkan diriku dalam tulisanku. Mereka memanggilku Ai. Jangan lancang untuk bertanya darimanakah sumber nama itu, sebab aku pun tak tahu. Jangan juga menduga nama itu datang dari kedua orangtuaku, sebab wujud mereka pun aku tak tahu.

Aku tidak tahu kapankah kesaksian ini akan sampai di depan mata kalian, sebab penderitaan ini seolah tak ada ujungnya. Maka akan kuberitahu pada kalian, kapankah kesaksian ini kubuat.

Tahun sembilan belas empat puluh satu. Mesin tik yang kugunakan rusak, sehingga aku tak dapat menekan tombol angkanya. Namun tak sedikitpun aku niat bertamak, sebab untuk bisa bersuara di sini saja sudah amat melegakan.

Kumulai kesaksianku yang bermuara pada seorang pria, Kaffa namanya. Ia merupakan salah seorang anggota tentara khusus, yang dibentuk oleh Jepang. Baru-baru ini dia diangkat pula menjadi pemimpin salah satu tim khusus tentara tersebut. Tidak, dia bukan pembela negara, bukan pahlawan. Dia hanya kebetulan berakhir dan memaksakan bokongnya untuk duduk di sana. Untuk apa? Untuk kepentingan perutnya, tentunya.

Semua insan ingin mempertahankan hidupnya, tak ada insan yang ingin menjadi sosok yang sia-sia. Begitu pula dengan dia. Besar dalam lingkungan yang menuntut kami untuk tak berbahagia dengan bebas bahkan saat bernapas pun, membuat kami hampir tidak pernah melakukan interaksi. Sekali pun kami tinggal di bawah atap yang sama. 'Kaffa adalah pemuda yang terlalu rumit' begitu kata mereka, para nonik muda yang mengkelaskan diri sebagai bangsawan. Eh, bangsawati? Entah. Aku tidak begitu peduli. Aku terlalu sibuk bersaksi.

Kalian tentu bertanya mengapa aku dan pemuda itu tinggal di bawah atap yang sama. Itu jelas karena kami senasib, kami sama-sama ditelantarkan. Sebutlah panti asuh, yang mempertemukan kami meski kami benar-benar tak pernah bertemu.

Aku percaya kelima indera yang Tuhan titipkan untukku ada gunanya bagiku. Namun apakah kalian percaya, bahwa aku benar-benar mengetahui sesuatu, yang kusaksikan dengan sesuatu diluar kelima inderaku. Atau akankah kalian akan mengikuti gerombolan mereka, yang berikrar bahwa ucapanku adalah omong kosong? Atau tidak sekalian saja kalian mengikuti langkah Jepang, yang justru membayarku dan memerintahku untuk membuat omong kosong yang sesungguhnya. Rasanya jika aku tidak menuangkan segala kesaksian ini, aku akan lebih cepat mati daripada tidak mengisi perutku selama berhari-hari.

Marilah lompati jauh-jauh mengenai indera samar milikku tadi. Kesaksianku bukan tentang inderaku. Namun ini adalah kesaksianku tentang pemuda itu. Di saat ini, tidak banyak waktu yang bisa dibuang-buang oleh orang hanya untuk memerhatikan satu insan. Namun hebatnya aku mampu dengan lancang membuang-buang waktuku hanya untuk memerhatikan sosoknya. Sosok yang susah payah ia sembunyikan, namun masih dapat kulihat. Terlebih amat jelas, di saat ia memanggil namaku, dan air wajahnya akan sampai pada titik itu,

"Ai," panggilnya tenang, namun batinnya tidak.

Aku tidak menyahut. Aku tidak pernah menyahut. Sebab yang Kaffa butuhkan bukanlah sahutan. Tetapi sepasang kupingku dan usapan pada kepalanya.

"Apa menurutmu aku ini palsu?"

Aku masih tidak menyahut. Sepasang manikku sibuk berkedip, tatkala otakku memikirkan apa yang seharusnya kulakukan. Memang, tidak mudah untuk menghadapi seseorang yang seperti Kaffa.

"Situasi menuntutmu untuk palsu, sebab Jepang si penjajah akan menyenanginya." Sahutku untuk yang pertama kalinya di hari ini. Aku anggap ini hari spesial, karena biasanya aku tak akan menyahutnya sebab aku tahu tak ada gunanya. Namun agaknya batin Kaffa juga mempunyai titik jenuh, sama seperti batinku yang jenuh untuk terus-terusan tidak menyahutnya. Sebab itulah aku berusaha menenangkannya.

"Bagaimana jika rakyat kita berakhir benar-benar membenciku? Aku melakukan ini untuk mereka. Untuk kepentingan mereka, Ai! Tetapi mereka tidak percaya. Mereka hanya percaya terhadap apa yang ingin mereka percayai saja." Nada suara Kaffa tak lagi tenang, terlebih batinnya. Namun jangan khawatir, tangisnya tak akan pecah. Sepasang bola matanya sudah jenuh untuk memproduksi air mata meskipun racun yang ada di dalam tubuhnya butuh untuk dikeluarkan.

Aku menatap wajah pria itu dengan tenang. Saat itu hari telah malam dan beberapa ekor nyamuk menikmati sekian mililiter darah betisku, namun aku berusaha tenang. Tidak tega jika harus menggerakkan tubuhku untuk membunuh sekian ekor nyamuk dan membuat sandaran kepala Kaffa menjadi bergeser. Meski kukatakan, aku tahu Kaffa tidak akan percaya bahwa aku dapat mengetahui apa yang ada dipikirannya. Sebab itulah, aku tidak lagi mengatakan bahwa aku memahaminya, bahwa aku mengerti akan perasaannya, tetapi kuputuskan saja untuk mendengarkannya, lalu memberi sahutan seperlunya.

"Tidak apa menjadi palsu. Asal tidak keseluruhanmu palsu. Jika tidak, itu tidak akan sehat. Baik bagi dirimu, maupun bagi rakyatmu."

Aku tidak akan mengharapkan sebuah senyuman mencuat dari ujung bibirnya. Aku tidak akan lancang menaruh harapan ia akan terhibur apalagi senang dengan sahutan yang kuberikan. Namun kesaksianku akan dirinya perlu tuan dan puan inapkan. Sebab kesaksianku bermuara, pada seorang pemuda yang memperjuangkan sekian juta jiwa umat dengan caranya yang memang menarik milyaran kesalahpahaman namun tiada satupun yang tahu apa yang ia korbankan.

Nonik jepang berbedak tebal tampak dari kejauhan. Ini pertanda bahwa waktu istirahatku yang amat singkat telah habis kugunakan. Kesaksianku pada tuan dan puan belumlah sampai pada penyelesaian. Bahkan ini saja belum mampu kukatakan permulaan.

UNFAKETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang