Kesaksian Empat

50 4 0
                                    

Arloji keemasan yang kumiliki kucek sesekali. Waktu istirahatku akan tiba sebentar lagi. Dari sekian omong kosong yang dituntut jepang untuk kutulis, aku menyelipkan sejumlah sandi. Mereka-mereka yang pandai akan mampu membacanya dengan cermat, lalu akan berkesempatan untuk memberantas sekutu sampai mati.

Tengah hari tegak. Ragaku amat letih terlebih ruh yang kukandung. Entahkah kesaksian ini akan sampai pada tuan dan puan kelak, namun tak hendak aku memadamkan tekadku untuk menuliskan akan apa yang dialami bumi kita yang sedang mendung.

Jepang semakin merajalela. Di awal-awal ini semua telah direkayasa sehingga kita semakin diperdaya. Lewat roman picisanku yang sesekali terbit di surat kabar, kuselipkan pesan pesan penting yang bisa pribumi baca, menerangkan markas-markas khusus Jepang dan rencana-rencana licik Jepang yang tak sengaja kudengar.

Namun tidak beruntunglah aku jika pribumi tak rajin membaca surat kabarku. Terlebih berulang-ulang. Sebab tak semua pasang mata dapat menemukannya.

"Ai, makanlah. Sudah pekak kuping kau makan bunyi mesin tik itu berjam-jam." Seru seorang tuan padaku. Tengkuk kugaruk pertanda canggung. Cengiran kuda kubuat secepat kilat dan kuarahkan padanya.

"Nanti dululah, Tuan. Jariku masih kelaparan." Kucek lagi arloji keemasan.

Tawarannya ditolak, lantas ketiga tuan yang berbagi nasib denganku itu berjalan duluan. Sementara aku kembali bermandikan debu di dalam ruangan.

Entahlah. Apa yang bisa kulakukan memerangi penjajahan. Yang bisa kusuguhkan hanya pelipur lara, dan segeliming informasi sulit di dalamnya.

Tempo hari, ketika itu telah malam. Aku dalam perjalanan pulang menuju rumah. Sepeda tua dengan tangkai yang peot kukendarai pelan-pelan. Sehingga miring sebelah tanganku.

Ada bagusnya. Aku jadi dikira cacat oleh Jepang. Sehingga niat mereka untuk bersetubuh denganku agaknya berkurang. Tak lupa kukusam-kusamkan wajahku serta tak kucuci-cuci rambutku. Sentuhan akhir, kubiarkan saja gigiku menguning oleh kopi hitam kesukaanku. Jangan, jangan bayangkan rupaku. Aku bahkan meragukan panggilan puan yang datang padaku.

Sebab rupaku yang tak elok aku pun mengubur dalam-dalam impianku untuk menikah. Jangankan menikah, untuk lancang menyukai pria saja aku tak kuasa. Tidak sedikit puan-puan lain yang bernasib sama denganku. Kami tampil dalam rupa yang buruk untuk bertahan hidup. Tidak seperti nonik berkelas bangsawan yang mengenakan gaun. Ada renda-rendanya pula. Elok sangat.

Tetapi aku sadar aku tidak perlu iri pada mereka. Aku tidak akan merasa iri pada sesuatu yang tak pernah kumiliki sebelumnya, kata seseorang. Sebab apa yang telah kupunya saat ini, mestinya adalah yang terbaik untukku. Semua telah ada yang megatur, begitu kata Mak.

Alamak. Sampai pula aku ke rupaku yang buruk. Padahal tadi aku hendak bersaksi akan sesuatu, tentang malam itu. Tempo hari, ketika aku pulang mengendarai sepedaku. Aku melihat seseorang dari kejauhan. Garis punggung yang amat kukenal.

Kuputuskan untuk mengayuh sepeda menjadi lebih dekat. Kupikir kita bisa pulang bersama. Dengan ia yang mengendarai sepeda, dengan aku yang memeluk pinggangnya.

Namun semestinyalah kutepis kuat-kuat khayalan itu semata. Tuan itu menghampiri seorang wanita. Elok parasnya. Kuning rambutnya. Bergelombang indah, dikuncir dua pula.

"Captain~~" nadanya terdengar manja. Kedua lengannya otomatis melingkar di lehernya. Aku tertegun. Berkawan dengan seseorang bermuka dua memang menyulitkan, ya?

Ia mesti memanfaatkan cinta untuk keperluannya. Ia biarkan puan itu menghujani wajahnya dengan sekian kecupan. Bahkan warna seragamnya jadi ikut berubah.

Kusembunyikan diriku dan sepedaku pada sebuah gang sempit tak jauh dari sana. Cukup dekat untuk menguping pembicaraan mereka.

Oh, puan itu dan Kaffa berbicara mengenai tempat persembunyian senjata yang dimiliki Jepang. Ya, mereka bilang orang mabuk akan mengujarkan apa pun yang diketahuinya. Segera aku mengingatnya baik-baik. Segera pula kuurusi rasa sesak pada dadaku saat indera penglihatku menyaksikan hal-hal itu.

Bodohnya aku masih saja di situ. Tak beranjak. Suara decakan dari pagutan bibir mereka bahkan terdengar dari sini. Mengalahkan bunyi saksofon yang lengking dari dalam sana.

Kuputuskan saja untuk membuang muka. Rasa-rasanya aku ingin pula merasakannya. Bersandar di dadanya. Tapi jangan harap. Ia bahkan tak sekalipun memandangku sebagai wanita. Belum lagi perihal Jepang yang senang menghambur-hamburkan waktuku dalam merampungkan tulisan. Aku terlalu sibuk untuk memikirkannya.

Sudahlah. Aku sudah dapat informasinya. Tempat persediaan senjata mereka ada di tepi kampung Sikumbang. Esok pagi akan kuselipkan huruf-hurufnya pada roman karyaku segera.

Sial. Mataku basah. Apa hujan? Aku harap benar adanya hujan. Agar Abak tak mengetahui apakah aku menangis atau tidak. Buru-buru kuseka air mata bercampur ingus itu. Yang ada dalam benakku saat itu hanyalah istirahat.

Maka pagi ini aku bertemu dengannya. Siapa lagi kalau bukan Kaffa. Kuputuskan untuk mengakhiri segala perasaanku padanya (meski ini bukan yang pertama kalinya). Kuputuskan untuk memperlakukannya layaknya seorang Jepang, sebab lama-lama rasanya Jepang saja lebih baik darinya. Tetapi, sesuatu yang tak kuduga terjadi.

"Ai, kau mau ke mana?"

"Kerja."

"Oh, begitu." Lalu aku tak menyahut.

"Ai, sudah makan? Makanlah dulu."

"Sudah."

"Oh, begitu." Lalu aku tak lagi menyahut.

"Ai, tengah malam berjaga di rumah sakit sangatlah menyeramkan."

"Ya, mereka bilang begitu.'

"Ya, begitu." Lalu aku, sungguh. Sungguh! Sungguh tak ingin lagi menyahutnya...

...namun ia, yang seolah tak ingin aku tuk meninggalkannya. Ia, yang seolah tak ingin untuk kutinggalkan.

"Aku sudah bosan. Bermain-main dengan nonik-nonik itu membosankan."

"Kalau begitu tinggalkan." Aku terus berjalan selangkah di depannya.

"Tapi, aku tak bisa membiarkan mereka sendirian."

Lalu mendengar hal itu, mataku memerah. Aku menghentikan langkahku dan berbalik badan. Kemudian menatapnya dengan tajam,

"Kau yang tak siap untuk menjadi sendirian."

"Bukan." Seperti yang kuduga, kali pertama aku berujar ia selalu mengingkari apa pun yang kukatakan.

"Tapi mungkin, benar juga apa yang kau katakan..." dan mengakuinya diam-diam setelahnya.

Aku menghela napas panjang. Tak perlu kujelaskan betapa kerasnya aku menyiksa diri untuk berhenti peduli padanya dan memendam rasa. Namun agaknya Tuhan tak mengizinkan aku untuk menempuh apa yang kuinginkan. Ia biarkan aku memerangi perasaanku sendirian.

Kulihat tubuhnya yang kian mengurus dari hari ke hari. Kuperhatikan lekat-lekat lalu kualihkan wajahku.

"Kau, meski aku tahu tekadmu kuat untuk mengubah dunia ini... kau tetap harus ingat satu hal." Kuberi jeda pada ucapanku.

"Jangan sakit." Lalu, kulanjutkan perjalananku.

UNFAKETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang