Kesaksian, ah. Kesakitan.

46 4 4
                                    

Aku hidup di masa ketika manusia tak berkuasa memilih untuk bahagia atau tidak. Aku hidup di masa ketika rasa sakit adalah hal lain yang harus kunikmati selain ubi dan padi. Terlalu jauh. Yang dekat-dekat sajalah. Perasaan yang kumiliki adalah perasaan yang salah. Yang sudah sedari awal salah.

Aku sudah tahu, dari awal pemuda itu bukanlah untukku. Hanya aku yang cukup dungu untuk lancang menaruh hati padanya. Masa ini mestinya aku tidak punya waktu untuk menaruh hati. Masa ini mestinya aku was-was akan diriku yang bisa kapan saja mati. Namun rasa-rasanya entah siapa yang mengancam jiwaku saat ini. Jepang, atau seorang pribumi yang bekerja untuk Jepang.

Petang itu, aku ketahuan oleh massa berkawan dengan salah seorang pemimpin tentara khusus bentukan Jepang. Siapa lagi kalau bukan Kaffa. Maka ramai-ramailah mereka menghujani aku dengan cercaan yang seolah tiada hentinya. Layaknya hal yang beberapa tahun belakangan ini Kaffa terima setiap harinya.

"Penghianat! Musuh bangsa! Mengapa pula kami sempat percaya padamu, nona?!"

"Mati saja kau sana. Jilatlah terus telapak kaki Jepang itu!"

"Pengecut, penghianat!!"

Dan banyak lagi. Ujaran-ujaran itu silih berganti menyapa gendang telingaku. Aku kehabisan napas. Seolah yang muncul di sekitarku hanyalah debu dan asap, bukan udara segar. Entah siapa yang memberi tahu. Entah bagaimana mereka bisa tahu. Entah apa pula pentingnya mereka tahu. Yang jelas, aku sudah tidak diterima di tengah masyarakat.

Lantas kubulatkan tekadku usai petang itu. Esok akan menjadi hari dimana aku harus memutuskan sesuatu. Aku, harus memerangi tuan yang kukasihi diam-diam di dalam hatiku.

"Bunuh aku." Kuberikan sebuah senjata api standar yang dimiliki semua tentara.

Ia kebingungan. Ia berusaha untuk menghindari permintaanku semampunya.

"Diamlah dulu, Ainun. Aku sedang dikejar-kejar seseorang." Ia tersengal-sengal. Entah dibuat-buat atau bagaimana.

"Bunuh aku. Aku tidak semestinya berkawan dengan penghianat macam kau." Ujarku tak gentar sedikitpun jua. Namun sorot matanya tak lurus. Ia tak berani menatapku lebih dari dua detik. Sebentar-sebentar, ia alihkan pandangan. Sebentar-sebentar, ia buat lagi napasnya tersengal.

"Mm. Nanti ya, bagaimana? Aku sekarang sedang dalam keadaan yang terdesak. Nanti, nanti kita bahas lagi Ai." Aku tahu ia berusaha semampunya untuk menghindariku. Tapi aku, sungguh tak bisa menahan rasa sakitnya sedikit pun lagi. Aku sungguh berniat menghentikan segalanya. Maka aku bersabar dan menantikan ujarannya. Aku bersabar, dengan harapan ia akan membunuhku.

Tetapi siang itu, ia tidak membunuhku. Ia malah berpura-pura tidak mengingat apa-apa tentang ujarannya, dan bertingkah seperti biasa.

Aku sudah letih. Aku menunggu dengan sabar, tetapi ia masih saja memperlakukan aku dengan orang bodoh. Ia tidak pernah, sekalipun menghargai usahaku. Seolah aku sungguh, sungguh bukan apa-apa, sungguh sangat bukan apa-apa, dalam hidupnya.

"Bunuh aku, atau jual saja aku pada Jepang. Biar aku menjual tubuhku dan kuperoleh uang dari mereka."

Ia terdiam sejenak. Namun tak lama. Benar-benar tak lama. Seolah jawaban itu telah tersedia dalam waktu yang lama dalam otaknya. Lantas ia membuka moncongnya, hendak berbicara.

"Kalau begitu, biar kujual kau pada Jepang."

Ia menjawab dengan segera. Tanpa rasa gentar sedikitpun jua. Mataku memanas. Darahku mendidih. Tulangku serasa lemah. Dan sarafku mengendor seketika.

"Baiklah." Aku tersenyum getir.

"Lakukanlah. Jika itu menurutmu yang terbaik."

Lalu kutarik pelatuk senjata api yang ada ditanganku. Lantas kubidik paha kananku. Dan kutembakkan ke dalamnya, sebuah peluru.

Maka, cacatlah aku.

UNFAKETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang