Part 2

58 4 3
                                    

Rinai

Kulewati hari -hariku dengan susah payah tanpa kehadirannya. Kehilangan sosok penting dan berharga itu sangat menyiksa. Dimana aku hanya bisa memandang wajahnya melalui sbeingkai foto di atas meja kerjaku saat ini. terus berharap ia datang dan memberi kejutan padaku. Dan terus menanti kembali pelukan hangatnya. Semua ini membuatku tak bisa berkonsentrasi sedikit pun dengan pekerjaan yang menumpuk di hadapanku saat ini.

"Ngalamun aja sih Rin." Suara Nina mengejutkanku.

"Elo Nin, ngagetin aja sih." Ucapku datar.

Nina adalah satu-satunya teman atau bahkan sahabat yang kumilki. Kepadanya lah smeua masalah kucurahkan selain kepada Tuhan. Kurasa sifat dewasanya bisa sedikit membantuku. Terlebih lagi pengalamannya mengenai percintaan yang sudah tak perlu ditanyakan lagi.

"Hehe...  Mikirin apa sih Rin." Tanya Nina.

"Gak mikirin apa-apa kok. Mikirin kerjaan, numpuk nih." Jawabku asal.

"Alah, udah deh gak usah bohong. Ngapain sih ditutup-tutupi? Kalau ada masalah itu bilang Rin. Kenapa? Aland lagi?"

Pertanyaan Nina membuatku berhenti menggerakkan tanganku yang sedang asyik berkutat dengan laptop.

"Apa sih Nin? Udah deh gak usah bahas dia kayak lagi." Gerutuku.

"Hahaha Rinai Rinai. Masih banyak lelaki lain Rin. Ngapain sih masih mikirin lelaki gak tanggung jawab gitu."

"Gue gak mikirin dia kok. Cuma belum bisa lupa saja." Jelasku.

"Dasar oneng, sama saja itu namanya." Nina menoel kepalaku.

"Ya jelas beda lah." Ucapku kesal.

"Yaaa… Terserah lo aja deh. Lagian, ingat umur Rin. 30 tahun bukan umur yang muda lagi. Pernikahan harus segera kamu laksanakan."

???

Benar, aku sudah bukan anak kecil lagi. Umurku sudah sangat matang. Bahkan bisa dibilang perawan tua. 2 tahun aku sendiri tanpa pria di sampingku. Banyak yang bilang gak laku, terlalu dingin kepada lawan jenis. Hingga ada yang bilang bahwa aku menyukai sesama jenis. Sangat menyebalkan bukan? Namun bagiku menjalani sebuah pernikahan. Bukan lah hal mudah. Dan tak bisa dilakukan oleh sembarangan orang. Terlebih lagi dengan orang yang tidak benar-benar kita cintai.

Karena pernikahan bagiku hanya dapat dilakukan satu kali seumur hidup. Bukan berulang kali seperti mereka kebanyakan. Dengan seenaknya mempermainkan sebuah ikatan suci yang benar-benar di restui oleh sang pencipta. Dengan alasan tidak cocok dan sebagainya. Jika tidak cocok kenapa dilanjutkan hingga pernikahan? Aneh bukan. Oleh sebab itu mengenal pasangan hidup bukan perihal mudah. Harus teliti hingga ke dalam-dalamnya. Bukan terpaku pada sebuah paras yang tampan dan cantik. Tapi juga hati yang tulus.

"Rin. Pulang yuk, keburu hujan nih." Nina memanggilku.

"Ya sebentar. Gue matikan dulu komputernya." Jawabku.

"Buruan kalik. Duh lama amat sih." Omelan Nina yang tak asing di telingaku.

"Sabar kenapa sih. Heran deh kerjaannya bikin orang heboh saja." Ucapku.

"Hahaha Gue tunggu di bawah ya. Sekalian siapin mobil."

"Iya buruan sana." Perintahku.

Tak lama aku menyusul Nina turun ke parkiran. Sebelum langkahku keluar kantor,  satpam memanggil dan memberiku sebuah kotak berukuran besar yang sedikit berat. Kotak berhiaskan pita besar berwarna pink polkadot. Warna kesukaanku. Dilengkapi setangkai Mawar putih favoritku. Anehnya tak ada sepucuk surat di atasnya atau nama pengirim di atasnya.

RinaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang