Part 5

37 3 2
                                    

Rinai

Berbeda dari hari-hari sebelumnya saat aku sama sekali tak memiliki semangat untuk bekerja. Kali ini semangatku meledak-ledak. Bahkan waktu masih menunjukkan pukul 6 pagi,  namun aku sudah bersiap berangkat ke kantor. Ya, hari ini adalah hari gajianku. Saatnya aku mendapat bayaran atas susah payahku bekerja selama sebulan ini.

"Wih tumben dateng pagi-pagi. Kesambet?" ucap Nina.

Dia memang salah satu pegawai yang terkenal sangat rajin di kantorku. Datang pagi buta hanya untuk menyiapkan bahan atau berkas-berkas yang akan dikerjakannya.

"Emm jam di apartemen mati. Jadi gue gak tahu kalau kepagian." Jawabku asal.

"Halah, bilang aja seneng. Tanggalnya gajian kan?" ledeknya.

"Apaan sih Nin!"

"Hahaha gue udah paham betul sama sifat lo. Rajin ke kantor kalau udah waktu gajian doang." Ledeknya.

"Sial!" dengusku.

Siapa juga yang tidak suka dengan hari dimana ia mendapatkan bayaran atas kerjanya. Semua orang pasti bahagia hari ini. Hanya hari ini. Besok pasti mereka semua sudah memasang wajah kecut. Karena bayaran hari ini telah dihabiskan untuk sekedar belanja bulanan, membayar tagihan-tagihan bahkan hutang ke seorang teman. Beruntung aku masih singel. Jadi tidak banyak hal yang harus kuurus. Makan ya tinggal makan seadanya. Membersihkan apartemen seperlunya. Gak perlu beli susu anak atau popok. Hidup sendiri memang cukup menyenangkan. Bebas. Tak ada batasan. Tapi, kesepian.

Terkadang aku merasa bahwa hidupku gini-gini aja. Datar. Gak ada yang menarik. Bahkan kalau melihat teman sekantor membawa anaknya kemari saat jam makan siang yang bebarengan waktu pulang sekolah rasanya ingin segera menyusul untuk punya buah hati juga. Pertanyaan besar di otakku adalah...

Sama siapa Rin?

Menikah itu mudah. Tinggal ke KUA, mengucap ijab qabul dan sah. Jadilah suami istri. Tapi masalahnya siapa yang mau jadi suamiku. Bahkan di usia yang gak muda lagi, aku sempat di tinggal pergi oleh orang yang mengaku akan menikahiku. Mengenaskan bukan? Sudah tua masih saja termakan cinta dan bodohnya dengan sangat mudah di bohongi oleh rayuan lelaki. Gak cukup apa hidup 26 tahun untuk belajar membaca gerak-gerik lelaki.

"Udah siang. Gak makan?" tanya Nina.

"Makan kok. Yuk." Ajakku.

"Ah. Maaf ya Rin. Aku ada janji nih. Hehehe."

"Apa?  Janji sama siapa? Terus aku gimana?"

Sial!
Kok gak bilang sih nih anak kalau ada janji sama orang lain. Siapa ya kira-kira?

"Hehehe ada deh kenalan baru."

"Nin. Serius?" aku menaikkan alis.

Tak percaya orang seperti Nina mau ketemuan sama orang yang baru dikenal. Sampai makan siang bersama pula.

"Serius. Udah ah bawel. Gue berangkat dulu ya."

"Eh tapi Nin." Panggilanku tak dihiraukannya.

Lagi-lagi aku harus sendiri. Apa ini nasib yah?

Setelah 15 menit memikirkan akan makan apa, aku beranjak dari kursiku menuju tempat dalam pikiranku. Bakso. Tiba-tiba aku ngidam bakso.
Ngidam?

Udah kayak ibu-ibu hamil aja sih Rin.

Tapi bakso memang salah satu makanan favoritku sejak kecil. Entah apa yang membuat cita rasa bakso begitu melekat di lidahku. Seperti ada sesuatu yang membuatku tak bisa lepas dari makanan dengan bentuk bulat bernama bakso. Namun saat ini banyak bakso yang sudah dimodifikasi bentuknya. Ada yang kotak bahkan segitiga. Padahal rasanya sama saja. Ya mungkin si penjual ingin menarik pembeli dengan bentuknya yang unik saja. Dan hanya bertahan 2 atau 3 Bulan saja. Setelahnya, tutup.

RinaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang