Part 3

38 4 0
                                    

Rinai

Kupenuhi panggilannya. Aku datang pada tempat saat dia menyatakan perasaannya dan melamarku. Tempat yang menjadi tempat favoritku. Tempat yang takkan pernah kulupa setiap sudutnya.
Kutapakkan kaki selangkah demi selangkah, kusambi menoleh ke segala arah mencari sosok lelaki yang mengajakku bertemu. Sudah hampir sampai ku pada tujuan, namun hampir di setiap penjuru Taman tak kutemukan sosoknya. Langkahku terhenti. Seakan de javu. Tiba-tiba lampu warna-warni berkedip dengan indahnya. Tepat 10 langkah di depanku terdapat meja berhiaskan vas berisi bunga Mawar putih. Sama seperti dulu.

Aland telah mempersiapkan semuanya untukku. Menjadikanku seorang Ratu semalam. Perlakuan yang manis. Tampilannya yang elegan. Ucapannya yang tertata rapi. Dan kepribadiannya yang sangat mengagumkan. Sangat persis seorang pangeran muda kerajaan.

Ya, aland memang selalu berpenampilan rapi. Sesuai kepribadiannya. Dia terlahir dari keluarga kaya yang menjunjung tinggi sopan santun. Perilaku dan penampilan yang elegan adalah makanan sehari-harinya. Bahkan cara memegang pisau dan garpu sudah sangat mahir dan terlihat gagah. Cara jalannya yang seperti model namun terlihat tenang dan santai. Cara bicara yang sungguh tertata bahasanya. Membuatku benar-benar jatuh Cinta padanya. Selalu jatuh Cinta setiap waktu walau sudah kutahu segala yang ada pada dirinya.

"Aland, dimana kamu." Ucapku dalam hati.

Kunanti kedatangnya. Kedatang lelaki yang teramat kurindukan. 5 menit, 10 menit, 1 jam berlalu. Dia tak kunjung datang. Sosoknya sama sekali tak terlihat di sekitar Taman. Entah dimana keberadaannya. Kuputuskan menantinya hingga larut. Takut-takut dia terkena macet di jalan. Sedikit pun aku tak berpikir jika dia hanya mempermainkanku. Aku yakin kali ini ia benar-benar datang. Ia juga pasti telah amat sangat merindukanku.

Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Namun aku masih sendiri berteman angin. Tak ada satu langkah pun yang kudengar. Kesal. Marah. Geram. Sedih. Kecewa. Semua bercampur menjadi satu. Hingga kuambil langkah meninggalkan tempat menyebalkan ini.

Bodoh. Bodoh. Bodoh.

Tak sampai langkah ke 3, aku mendengar sebuah tapakan kaki yang berdentum di atas rerumputan. Membuatku bergeming. Ia mengenakan sepatu pantofel. Terdengar dari langkahnya, ia terlihat memiliki tubuh yang besar. Kusimpulkan tanpa melihatnya.

Tak lama kurasakan ada tangan yang menyentuh lenganku.

"Kenapa belum pulang?"

Deg!!! suara itu.

Aku berbalik melihat siapa yang mengucapkannya. Mengejutkan. Diluar dugaanku.

"Hoy. Ngelamun muluk sih. Liat tuh tugas udah menanti." Ucap Nina mengejutkanku.

"Ya ampun kebiasaan deh. Bisanya ngagetin muluk." Ucapku sebal.

"Hahaha abisnya elo sih. Lamunin apa lagi sih? Oh ya. Gimana? Apa isi kotak waktu itu? Terus semalam kemana? Gue ke tempat lo, tapi lampunya mati. Keluar?" Nina menyerbuku dengan berbagai pertanyaan.

"Nin." Panggilku.

"Ya. Apa?"

"Bisa gak kalau tanya satu-satu aja. Pusing tahu."

"Hihihi ya maaf. Oke oke,  satu-satu deh. Jadi apa isi kotaknya?"

"Gaun, perhiasan, sepatu dan surat." jawabku singkat.

"Terus kamu kemana semalem?"

"Taman."

"Hah? Taman? Sama siapa? Ngapain? Pasti dinner ya?" Nina terkekeh.

"Dinner apanya. Boro-boro dinner, minum aja gak." Decakku sebal.

"Eh? Gak minum? Maksudmu gak ada hidangan apa pun di sana? Kok bisa?  Emang dia gak siapin? Jahat banget sih. Emang sama siapa sih Rin. Kok gak lo kenalin ke gue?"

Lagi-lagi Nina menyerbuku dengan berbagai pertanyaan. Membuatku semakin sebal. Tak satu pun pertanyaan kuacuhkan. Segera kulanjutkan beberapa pekerjaanku.

“Huh, yaudah deh kalo lo gak mau jawab.” Nina lantas meninggalkanku dan menggerutu seenaknya. Aku benar-benar tak peduli.

Sebenarnya tak ada sepercik semangat dalam tubuhku hari ini, terlebih lagi untuk berangkat kerja dan mengerjakan pekerjaan yang menggunung ini. Aku masih saja terbayang wajah lelaki semalam. Siapa dia? Dia bukan Aland seperti yang kuharapkan. Lelaki itu menggenggam lenganku. Suaranya pun hampir mirip dengan suara Aland. Tapi tidak dengan wajahnya. Dia terlihat jauh lebih kalem. Dan lebih pendek sedikit di banding Aland.

"Kenapa belum pulang?" ucapnya.

"Kamu?" Ucapku dengan wajah bingung kutelusuri tubuhnya dari ujung rambut hingga ujung kakinya. Wajah yang sangat asing bagiku. Wajah yang tak pernah kutemui sebelumnya.

"Kamu siapa?" tanyaku.

"Oh iyah, panggil saja Meda." Dia tersenyum. Manis. Sangat tampan.

"Meda?"

"Iya Meda. Kalau nama kamu siapa?" tanyanya balik.

"Rinai." Kuulurkan tanganku.

"Rinai? Artinya hujan kan?" Dia tertunduk sambil membalas uluran tanganku.

"Yah. Hujan." Jawabku singkat.

"Sedang apa kamu sendiri malam-malam begini?"

Meda benar. Malam itu terlalu larut bagi seorang gadis sepertiku. Ah tidak. Aku bukan seorang gadis muda lagi. Siapa juga yang akan merayuku.

"Menunggu seseorang." Jawabku.
"Lalu? Sudah bertemu?"

"Dia... Dia tak datang." Ganti aku yang menundukkan kepala.

"Emmm… kalau boleh mari aku antar pulang." tawarnya.

"Tidak. Makasih banyak. Aku masih ingat jalan pulang. Lagi pula aku bukan seorang bocah yang takut pulang sendiri." Jelasku.

"Ya aku tahu. Terlihat dari pakaianmu, kamu memang bukan seorang bocah yang kehilangan ibunya. Tapi kamu wanita. Tak baik berjalan sendirian."

"Dan kamu pria yang tidak kukenal. Tak baik juga bukan? Aku tak yakin kau tidak akan macam-macam terhadapku." Ucapku ragu-ragu.

"Hahaha." Ia tergelak.

"Kenapa?  Ada yang salah?" sergahku.

"Kamu ini lucu. Hei..." Meda menyondongkan tubuhnya dan mengarahkan wajahnya tepat menghadap wajahku.

"Pegang kata-kataku. Kau bukan tipeku. Dan kita sudah cukup dewasa bukan untuk melakukan hal seperti itu. Jika aku ingin dan kita sama-sama mau melakukannya,  aku akan memintanya baik-baik. Bukan memaksamu seperti preman."

Wajahku memanas. Entah semerah apa saat itu. Dia membuatku kikuk seketika. Apa yang dia ucapkan sungguh menusuk hatiku. Sangat jelas dia merendahkanku. Tapi ucapannya benar. Kami sudah sama-sama dewasa, untuk apa saling memaksa. Jika ingin dan saling cinta kenapa tidak.
Ah, apa sih yang aku pikirkan. Mengapa terus saja dia menghantui pikiranku. Bertemu saja baru sekali. Tak ada yang bisa dibanggakan dari pertemuanku dengannya. Memalukan.

Kufokuskan kembali pikiran ini ke tumpukan kertas di hadapanku. Menepis jauh-jauh ingatan tentang Meda. Lelaki yang kutemui semalam. Dan juga tentang Aland pastinya. Karena aku sudah cukup lelah menanti kedatangannya. Suatu hal yang tak mungkin terjadi. Dia sudah pergi. Hilang. Lenyap. Tak akan kembali.

RinaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang