Part 4

35 5 0
                                    

Rinai

Cinta memang abstrak. Tak bisa ditebak. Membingungkan. Menjadikan setiap penggalan kisah sebuah teka-teki yang harus di pecahkan. Rumit. Melelahkan. Layaknya labirin. Setiap kali kita akan keluar, selalu saja menemukan hambatan lainnya. Terus dan terus seperti itu. Berputar-putar pada tempat yang sama. Aku hanya ingin keluar. Bebas. Semua terasa menyesakkan. Aku butuh udara baru. Bukan terkurung seperti ini.
Walau aku sadar di setiap teka-tekinya selalu ada pelajaran tersendiri. Luka. Patah hati. Hanyalah sebuah kesalahan yang dilakukan manusia terhadap cinta. Layaknya salah memilih jalan dalam sebuah labirin. Kita sudah susah payah mencarinya dan ketika menemukannya,  ternyata hanyalah jalan buntu. Menyakitkan bukan? Pada akhirnya kita harus kembali lagi kebelakang. Mencari ulang jalan yang benar.

Aland memang mengajarkanku rasanya mencintai. Namun atas kesalahanku, mungkin yang tak ku ketahui. Dia memilih untuk melukaiku. Mematahkan anganku bersamanya. Menumbuhkan kebencian tak berujung. Kusadar, aku hanya tersesat pada jalan yang salah. Aku kehilangan jejaknya. Aku hanya perlu kembali ke belakang dan memulainya lagi. Tanpa kutahu akan kutemukan dia kembali atau justru menemukan yang lain.

"Aland. Kamu dimana?" ucapku dalam hati.

Angin malam menemaniku dalam kesendirian. Membuatku mengingat kejadian-kejadian di masa lalu. Bagaimana sosok Aland memelukku erat saat aku kedinginan. Menyiapkanku makanan hangat. Menghangatkan tubuhku dengan jaket yang dipakainya. Sangat romantis. Ya, Aland adalah lelaki romantis dengan segudang perhatian. Siapa pun akan luluh terhadap tindakannya.

"Minumlah. Setidaknya itu akan menghangatkan tubuhmu." Ucapnya sambil menyodorkan kopi hangat ke hadapanku.

"Makasih Aland." Ucapku.

Masih teringat jelas bagaimana ia memperlakukanku bagai seorang Putri. Ia menggosok-gosokkan tangannya sampai hangat lalu meletakkannya di atas wajahku. Nyaman. Membuatku terhanyut dalam perasaan tak ingin kehilangannya. Perlahan wajahnya mendekat. Semakin mendekat hingga tak ada ruang diantara kita. Hangat. Lembut. Basah. Ia menjatuhkan bibirnya di atas bibirku. Mengecupnya manja. Kehangatan yang menjalar ke seluruh tubuhku. Membuatku merasa bahagia menjadi miliknya.
Aland. Kamu benar-benar pintar membuatku jatuh cinta kepadamu.
Kupeluk erat jaket peninggalannya. Selalu kupakai jika aku kedinginan. Kusimpan baik-baik agar tak rusak dan hilang. Hanya ini satu-satunya benda yang mampu membuatku merasakan pelukan hangatnya. Membuatku merasa bahwa dia tetap berada di sisiku. Entah mengapa, aku selalu bisa tertidur pulas ketika memeluk benda ini.

Aland. Aku merindukanmu.

Samar-samar kulangitkan doa agar dapat segera bertemu dengannya. Semoga Tuhan mendengar doaku. Karena hanya mendoakannya yang bisa kulakukan saat ini. Ini satu-satunya caraku merindu akan hadirnya.

Baru sekejap saja mataku terpejam. Dering hpku mengejutkan, memekakan telingaku. Dering itu menunjukkan sebuah panggilan. Entah dari siapa. Tak ada nama di atas nya. Hanya sebuah nomor asing. Bunyi pertama hingga kedua tak kuangkat. Aku takut itu hanya sebuah nomor iseng atau mungkin teror belaka. Hingga pada panggilan ketiga aku mengangkatnya dengan ragu-ragu.

"Ha... Hallo." Sapaku pelan.

"Hallo Rinai. Hahaha kenapa suaramu gugup seperti itu?" tawanya.
Suara siapa ini. Terasa tidak familiar.

"Siapa?" tanyaku.

"Hahaha. Kenapa ketus gitu sih? Bicara santai saja. Aku bukan orang jahat." jawabnya disertai tawa keras. Dari kalimatnya sudah kutahui siapa pemilik nomor asing ini.

"Meda."

"Yap anda benar. Aku Meda. Masih ingat?"

"Jadi benar. Ini Meda?" tanyaku memastikan.

Aku bingung darimana dia mengetahui mnomor ponselku. Aku tidak ingat memberikan nomorku padanya malam itu. Yang kuingat dia hanya mengantarku pulang dan kita berpisah. Tak lebih. Sepanjang perjalanan pun kami tam saling mengobrol satu sama lain. Melainkan diam dan sibuk dengan pikirannya masing-masing.

"Iyah Rinai. Kenapa? Takut diteror orang jahat yah? Hahaha. Katanya gak takut? Katanya bukan bocah?" tawanya kian membuncah.

"Diam. Aku tak sedang bercanda." Ucapku sinis. "Darimana kau mendapat nomor ponselku?" tanyaku ketus.

"Rinai. Biasa saja lah. Toh aku bukan orang asing." Kini dia mengatakan dengan sangat tenang tak seperti tadi, tertawa seenaknya.
"Jawab pertanyaanku." Masih kuucapkan dalam nada datar.

Aku memang benar-benar tak ingin bercanda kali ini. Hanya 5 orang yang memiliki nomor ponselku. Aland, Nina, Bos di kantor, satpam kantor dan ibuku. Ya, ayahku memang memiliki ponsel tapi tak memiliki nomorku.  "Biar ibu saja yang menyimpan." Katanya. Aku pun anak satu-satunya, jadi tak memiliki adik atau kakak yang bisa kuhubungi.

Teman? Tak ada kecuali Nina. Aku tak memiliki banyak teman seperti orang kebanyakan. Aku tak suka berbagi dalam segala hal dengan orang banyak. Aku dan Nina berteman pun karena urusan pekerjaan yang mengharuskan kami terus bersama. Hingga akhirnya dia mengetahui beberapa kisah hidupku termasuk cinta.

"Aku... Mengacaknya." Jawabnya.

"Apa?  Jangan bohong." Ucapku kesal.

"Rinai. Sudah malam. Besok kan harus kerja. Maaf ya mengganggu. Aku hanya ingin mengucapkan selamat tidur untukmu malam ini. Semoga mimpi indah yah Rinai." Dia mengakhiri percakapan kami dan menutup telfonnya.

"Apa? Hei jangan kabur." Teriakku. “Ah sial!”

Aku menggerutu layaknya orang yang kehilangan akalnya. Dia membuatku gila. Siapa dia? Mengapa semua ini menjadi sebuah kebetulan yang menyebalkan. Dia hanya kebetulan ada saat aku menunggu Aland. kebetulan berkenalan. Dan kebetulan mengantarku pulang. Lalu mengapa sekarang menjadi sejauh ini? Apa tujuannya? Apakah dia orang jahat?

"Aaarrrgh..." Aku bingung. Tak tahu harus melakukan apa.

Lebih baik kubiarkan Meda melakukan apa yang dia mau.
Sementara.

Hanya untuk sementara. Akan kulihat apa yang sebenarnya ia inginkan dariku. Jika memang ia berniat jahat, aku tak segan-segan menjebloskannya ke penjara. Masa bodoh dengan tampang rupawannya itu. Bagiku jahat tetaplah jahat. Tak ada toleransi.

Termangu aku dalam lamunan singkat berisi pertanyaan siapakah Meda sebenarnya. tidurku benar-benar terganggu. Aku gagal memejamkan mataku sejak saat ia menelponku. Rasa penasaranku semakin menjadi. Bodohnya aku tak sempat menanyakan perihal apa yang dilakukannya malam itu. Mengapa ia bisa berada di taman tempatku menunggu Aland. Hanya lewatkah? Lalu untuk apa ia membuang waktunya hanya sekedar menyakan apa yang dilakukan olehku di sana. Sudah jelas bahwa aku ini orang asing baginya. Aneh.

Apa dia ada kaitannya dengan Aland?

Apa dia orang suruhan Aland?
Ah tidak mungkin.

Lalu, bagimana dengan kotak berisi gaun itu. Siapa pengirim sebenarnya? jika bukan Aland, lalu siapa?

Namun, hanya Aland yang mengetahui warna kesukaanku. Bunga favoritku. Hanya Aland. Tak ada yang lain. Semua ini membuat kepalaku sakit. Semua terasa membingungkan. Tak jelas.

Tuhan. Apa ini semua rencanamu? Lalu, bagaimana akhirnya? Aku lelah tuhan. Aku lelah.

Tak terasa mataku perlahan memejam dengan sendirinya.

RinaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang