Part 6

30 2 0
                                    

Rinai

Perasaanku semakin berkecamuk akan kehadiran sosok Meda. Bahkan konsentrasiku seketika memudar, terbayang wajah Aland dan Meda secara bergantian. Tiba-tiba saja ia datang tanpa permisi, mulai memasuki duniaku yan telah lama kosong tanpa kehadiran cinta. Kini aku bisa merasakan hatiku penuh kembali. Cinta yang sempat padam kini mulai memercikkan apinya. Segala sesuatu yang ada dalam diri Meda juga ada dalam diri Aland. Apakah mereka benar-benar berkaitan?

Pikiranku melayang. Menelisik. Berlarian menuju ingatan di masa lalu. Ingatan yang menyimpan saat-saat indahku bersama Aland. Saat dengan gagahnya Aland membawaku ke depan orang tuanya. Memperkenalkanku sebagai wanita yang ia cintai dan meminta restu untuk menikahiku. Ah, sungguh indah saat-saat itu. Benar-benar tak terlupakan. Aku selalu ingin kembali ke masa itu.

"Ma...Pa... Kenalkan, ini Rinai. Wanita pilihanku."

"Ah cantiknya... Siapa tadi namanya ? Rinai ya?" ucap mamanya hangat.

"Iya tante." Aku tersenyum simpul.

"Kamu benar-benar pintar dalam memilih pasangan Lan. Papa bangga sama kamu." Kini ganti papanya yang berbicara.

"Hahaha anak siapa dulu pa?"

Tawa kami pecah. Canda demi canda terlontar dari mulut kami. Hangat. Keluarga yang sangat menyenangkan. Padahal aku selalu berpikir bahwa keluarga kaya raya memiliki sikap yang dingin terhadap orang asing si sekitarnya. Ternyata anggapanku salah. Aku senang jika keluarga yang nantinya menjadi bagian dari diriku ini begitu menyenangkan. Kasih sayangnya sangat terasa.

Memiliki keluarga yang bahagia tentu menjadi impian semua orang bukan? Terlebih lagi jika calon mertua sudah menetapkan hati terhadap kita. Itu sungguh luar biasa. Tak perlu berusaha keras lagi untuk mendapatkan hatinya. Atau bahkan tak perlu lagi mengalami penolakan atau mendapat kebencian dari calon mertua karena status keluarga yang tak sederajat.

Ya, keluargaku berstatus biasa saja. Tidak kaya juga tidak miskin. Berbeda dengan keluarga Aland yang memiliki beberapa pabrik yang cabangnya sudah menyebar di seluruh Indonesia. Sangat kaya menurutku. Tapi dengan kekayaannya itu tak membuat Aland menjadi serakah dan semaunya sendiri. Ia justru terus bekerja keras membantu keluarganya menjalankan bisnis yang selama ini menjadi tempat mereka bernaung.
Lagi-lagi ingatan tentang Aland muncul. Menyebalkan.

"Hallo Rin, gimana makan siangnya? Asyik gak?" Ucap Nina yang baru saja datang.

"Biasa saja." Ucapku dengan wajah datar.

"Loh Rin. Kenapa muka lo? Kok gitu banget sih. Lagian tumben jam segini udah balik, kan belum waktunya masuk."

"Lo sendiri ngapain balik jam segini? Kan belum masuk jam kerja."

"Ih Rin selalu gitu deh." Cemberut. "Eh Rin, ternyata Gani orangnya baik banget loh. Tampan pula. Duh gak nyesel sudah kenalan kemarin. Hehehe."

"Oh. Iya. Selamat."

"Rin! Lo kenapa sih? Ada apa? Kebiasaan banget deh suka nyuekin orang kayak gitu. Gak baik tahu!" ucap Nina kesal.

"Aku sebel."

"Ya sebel kenapa? Cerita dong. Jangan dilampiasin ke aku kayak gitu."

"Yang lampiasin sapa sih? Kamu aja yang baper."

Aku sebut dia baper. Kata anak gaul jaman sekarang sih singkatannya Bawa Perasaan. Dimana orang yang selalu menggunakan hati dalam menyikapi setiap hal yang terjadi. Pada akhirnya ia akan terluka dengan sendirinya.

"Ya apa dong. Cerita sini." Nina kini duduk tepat di sebelahku.

"Ya ya, sabar ini lagi mau cerita." Dengusku. "Jadi, aku sempat bertemu dengan seorang laki-laki beberapa hari lalu. Anehnya tiba-tiba dia punya nomor ponselku dan menghubungiku malam-malam hanya untuk mengucapkan selamat tidur."

RinaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang