43. Leah Gray

491 97 11
                                    


Malam itu adalah malam yang penuh dengan kesunyian. Hujan di luar seolah mendukung kecemasan yang dirasakan oleh seluruh penghuni rumah Almo. Ini sudah hari kedua Michael dan Makayla angkat kaki. Segala cara telah mereka kerahkan. Dari mulai mencari, hingga meminta bantuan polisi. Tetapi sampai saat ini, mereka belum mendapatkan hasil apa-apa.

Mereka seperti dihantui oleh ramalan yang awalnya mereka anggap bodoh itu. Semuanya terlihat semakin jelas setelah Michael dan Makayla tumbuh dewasa. Ternyata segala cara yang mereka lakukan untuk memisahkan Michael dan Makayla tak berbuah apa-apa. Pada kenyataannya mereka memang tak bisa dipisahkan.

Frank sudah beberapa kali mengunjungi rumah itu untuk memintai informasi. Dan ya, Albert meminta bantuannya untuk mencari buah hatinya tanpa ada kecurigaan sedikit pun mengenai Frank yang kerap kali memberikan pertanyaan sedikit menyimpang dari permasalahan.

Karena kesunyian seperti membunuh semua orang di dalam rumah, maka Albert berdiri dari samping istrinya yang tengah melamun. Wajahnya pucat, tubuhnya seperti tak ditinggali roh lagi. Albert menunduk dan melangkah melewati pintu.

Angin malam serta cipratan halus air hujan segera menyambutnya. Albert melonggarkan dasi yang melilit lehernya dengan ketat. Ia menatap pada gemuruh air di hadapannya. Baru kali ini keributan bisa membuat Albert tenang. Karena jika dibanding berada di dalam sana, di luar jauh terasa lebih baik.

Albert menoleh saat Thomas bergabung bersamanya. Thomas menutup pintu dan menghampiri Albert yang menyaksikan kesunyian berisik dari teras rumahnya yang megah.

Keduanya terdiam beberapa saat. Menonton satu per satu air terjatuh dari langit Lovia.

Albert tiba-tiba tersenyum membuat Thomas menoleh ke arahnya.

"Kenapa kau tertawa sendiri?" Thomas menegur tanpa ada kekhawatiran di dalam getar suaranya. Sejauh ini hanya Sophia yang terlihat sangat terpukul atas kehilangan anaknya.

"Kau ingat saat pertama kita bertemu? Kita sama-sama berteduh di halte dekat sekolah karena hujan seperti ini." Mata Albert terus menatap pada air, namun ingatannya menerawang pada masa-masa di mana ia bahkan belum mengenal Sophia atau pun Allyson.

"Siapa yang bisa lupa? Itu seperti kebetulan yang tertulis. Saat kita sama-sama mengeluh karena punya nama belakang yang aneh." Thomas ikut tertawa.

"Ya, nama aneh yang sama. Dan parahnya aku mengira jika kita kakak-beradik. Sampai kutahu kau seusia denganku." Albert dan Thomas larut ke dalam obrolan santai yang membuat jantung keduanya berdebar merindukan momen kehangatan yang pernah mereka cicipi sebelum semua ini terjadi. "Thom, pernahkah kau berpikir kau ingin sekali lagi merasakan muda?" Albert menoleh dan mendapat cengiran dari Thomas.

"Tentu saja. Dulu, aku ingin cepat-cepat tua. Setelah tua, aku ingin menjadi muda lagi. Dasar manusia."

Albert mengangguk mengiyakan.

"Dulu kita melakukan hal-hal yang sangat gila berdua. Aku tak ingat kapan terakhir kali kita tertawa. Apa yang sebenarnya berubah dari kita ber-dua? Aku masih aku dan kau tentu masih kau. Tetapi rasanya, kehangatan itu tak lagi ada. Bahkan kurasa kedua buah hati kita pun tak tahu masa muda kita seperti apa. Mereka mungkin berpikir jika kita hanya orang yang sibuk meng-umpulkan harta kekayaan."

Thomas sadar jika obrolan ini berubah menjadi serius. Albert tampak menyesali perbuatannya selama ini yang tanpa ia sadari merusak kepribadian Michael.

"Kurasa sejak kita mendapat pekerjaan ini." Thomas mengingat-ingat. "Sejak pertama kita bertemu dengan Ferdia. Dan dia memberi kita peringatan atas sesuatu. Sesuatu yang tak pernah bahkan terbesit di pikiran kita. Dari situlah kurasa kita kehilangan kehangatan, dan kadar kegilaan kita pun menjadi nol."

(TERBIT) Things I CanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang